Acehsky

Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Sejarah Romawi Kuno Dinasti Julius-Claudius Caligula

Caligula

 Nama asli Caligula adalah Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus (diambil dari nama leluhurnya Julius Caesar dan Augustus), namun orang-orang memanggilnya Caligula karena ketika masih kecil dia tinggal di kamp militer bersama ayahnya, yang merupakan seorang jenderal. Di sana dia memakai sandal bot kecil tentara, sehingga para tentara memanggilnya "Caligula", yang bermakna "Bot Kecil" dalam bahasa Latin.
Ayah Caligula, Germanicus, adalah cucu angkat Augustus, sedangkan ibu Caligula, Agrippina Tua, adalah cucu perempuan Augustus. Caligula lahir pada tanggal 31 Agustus 12 M. Dia memiliki empat orang saudara lelaki dan tiga saudara perempuan. Dua saudaranya meninggal ketika beranjak dewasa. Ayah Caligula juga meninggal ketika Caligula berusia tujuh tahun. Ada kemungkinan bahwa kaisar Tiberius meracuni ayah Caligula untuk menyingkirkannya. Setelah ayahnay meninggal, ibu Caligula, Agrippina, bersengketa lama dengan Tiberius mengenai apakah Tiberius yang meracuni suaminya.

Gagalnya Perjanjian Aceh - Amerika

Muhammad Arifin
Muhammad Arifin, Putra Mahkota Moko-moko, Bengkulu memainkan peran ganda dalam perang Aceh. Sebagai mata-mata Belanda ia menyeret Syahbandar Kerajaan Aceh, Panglima Muhammad Tibang membelot ke pihak Belanda di Singapura pada akhir 1872. Perjanjian Aceh dengan Amerika Serikat pun gagal.

Siapa sebenarnya Tengku Arifin yang berhasil membuat Belanda mempercepat invansinya ke Aceh pada Maret 1873 itu? Menurut Menurut M Nur El Ibrahimi dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Tengku Muhammad Arifin merupakan anak seorang pangeran asal Bengkulu yang mempunyai hubungan dengan kraton Aceh.

Ia pernah menikah dengan kemenakan Sultan Aceh. Ia berhasil meyakinkan Panglima Tibang untuk menggunakan jasanya sebagai penerjemah di Singapura karena mengaku kenal baik dengan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer.

Diplomasi Aceh Tempo Dulu


Untuk menjalin hubungan dangan kerajaan Belanda, Raja Aceh, Sultan Alauddin Al Mukamil mengutus Abdul Hamid ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Aceh sejak zaman dahulu memiliki para diplomat ulung yang menjalin hubungan dengan luar negeri. Kisah ambasador Abdul Hamid salah satunya. Menurut Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.

De Jong Atjeher

Bagi sejarawan Aceh, H M Zainuddin sering menajdi rujukan. Karya-karyanya sampai kini masih jadi referensi. Namun siapa sangka ternyata dia awalnya sarjana pertanian, ahli perbankan, bisnisman dan wartawan yang menggunakan nama pena De Jong Atjeher.

Keberadaan H M Zainuddin sebagai penulis buku-buku sejarah Aceh tidak diragukan lagi. Berbagai karangannya tentang sejarah Aceh, kini menjadi rujukan dan referensi bagi generasi setelahnya. Tulisan singkat ini mencoba mengungkap kembali siapa sebenarnya De Jong Atjeher itu.

H M Zainuddin merupakan putra dari H Abu Bakar, seorang pedagang hasil bumi yang sering meekspor barang dagangannya ke luar negeri. Ia sering ikut berlayar membawa barang dagangannya berlayar ke Sailon, Kalkuta dan Penang dengan menggunakan kapal sendiri.


Dayah di Aceh

Mesjid Baiturrahman Banda Aceh, dulu.
Dayah di Aceh tak lagi identik dengan santri kain sarung, dari salafi beranjak menuju modernisasi. Pengembangan usaha sampingan penguat ekonomi dayah jadi penyokong. Mudi Mesra dan Darussalam Al Waliyah telah melakukan hal itu.

Salah satu dayah salafi yang beranjak moderen adalah Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal`Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya ( LPI MUDI MESRA) Samalanga berlokasi di Desa Mideun Jok, Kemukiman Mesjid Raya, Kecamatan Samalanga.

Dari Haagsche Boch ke Perang Aceh


Rumah Gubernur di Aceh tahun 1890
Aceh terikat kerja sama dengan Inggris, Belanda mencoba mempengaruhi Inggris untuk menguasai Aceh. Pers dimanfaatkan untuk mengatur siasat.

Pertengahan abad sembilan belas pers banyak mengkritik usaha perluasan kekuasaan Belanda di nusantara yang mengabaikan cara-cara beradab. Tinggal Aceh yang belum dikuasai.

harian Algemeen Dagblad van Nederland Indie, yang diasuh C Busken Huet sebagai redaktur kepala juga menyorot hal itu. Intinya Aceh harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi Belanda.

Cut Nyak Meutia (II) Perempuan yang Dipuja Belanda


Cut Nyak Meutia
H C Zentgraaff penulis berkebangsaan Belanda sangat mengagumi perempuan Aceh dalam  tulisannya tentang perang Aceh. Cut Nyak Meutia salah satu dari sekian banyak wanita yang dipuja dalam bukunya.

H C Zentgraaff merupakan mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan. Terakhir menjabat sebagai redaktur di surat kabar  Java Bode. Tulisan-tulisannya di surat kabar tersebut kerap “menyerang” pemerintah kolonial Belanda. Ia mengkritik kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh pasukan marsose.

Cut Ali, Panglima dalam Keghaiban

Cut Ali, Panglima dalam Keghaiban


Cut Ali salah seorang panglima dari pejuang Aceh, memiliki kemampuan ghaib dengan doa-doanya kepada Allah. Doa-doa religius yang menyelamatkanya dari serangkaian pertempuran. Ia sangat piawai memainkan kelewang.

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang.
Allah adalah pelindung saya.
Tiada tuhan melainkan Allah,
Malaikat-malaikat Jibril, Mikail, dan israfil
Berada pada tanga kanan dan tangan kiri saya
Dimuka, di belakang, di atas, dan di bawah saya.

Kisah Isra’ Mi’raj

Kisah Isra’ Mi’raj

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya  terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak  pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.

Ar Raniry di Taman Raja-raja

Syeikh Nuruddin Ar Raniry
Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam kitab Bustanussalatin. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.

Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda bustan itu Taman Ghairah.”

Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim Alfian.