Pasukan Van Heutsz ketika menyerang Bate Iliek |
Benteng Kuta Gle Batee Iliek menyisakan sejarah heroisme dan pengkhianatan. Kini terbengkalai di ujung timur jembatan Krueng Batee Iliek.
Monumen benteng Kuta Gle dibangun untuk mengenang para
syuhada yang tewas mempertahankan kerajaan Aceh terhadap agresi Belanda.
Monumen itu menyimpan secuil kisah
tentang keheroikan pejuang Aceh.
Pada masa pergolakan perang melawan Belanda di Batee Iliek
terkenal seorang pemimpin pejuang Aceh, Panglima Said yang memimpin perjuangan
melawan Belanda di Kuta Gle, Batee Iliek.
Selama 23 tahun benteng Kuta Gle sangat sulit ditaklukkan Belanda,
walau mereka dilengkapi persenjataan lengkap. Strategi yang digunakan Panglima
Said cukup unik. Pasukan Belanda yang mencoba naik ke bukit Kuta Gle dibiarkan
saja. Tapi ketika sebagian besar pasukan Belanda sedang mendaki, pasukan
Panglima Said menggulingkan potongan
batang kelapa yang telah duluan dipersiapkan dari atas bukit. Akibatnya
batang kelapa itu menimpa pasukan Belanda dan mereka terjungkal ke sungai
hingga tewas.
Benteng Kuta Gle baru bisa ditaklukkan pada tahun 1901. Seorang “Cuak”
bernama panggilan Abu Pang. Ia berkhianat dengan membawa pasukan Belanda
melalui jalan lain untuk menyerang benteng Kuta Gle. Oleh Belanda Abu Pang
dimasukkan ke dalam sebuah guci agar tidak terlihat warga. Karena
pengkhianatan itulah benteng Kuta Glee takluk dan dikuasai Belanda. Panglima
Said sendiri waktu itu tewas di tempat bersama sebagian besar pejuang akibat
pengkhianatan Abua Pang.
Mengenang peristiwa tersebut, sebuah monumen dibangun di kaki
bukit Kuta Gle, tepatnya di ujung timur Jembatan Batee Iliek. Monumen itu kini
menjadi tonggak sunyi ditengah keramaian wisatawan lokal yang mengunjungi areal
wisata Krueng Batee Iliek setiap harinya. Jarang yang tahu bahwa di tempat
rekreasi itu pernah terjadi sebuah pergoalkan besar melawan Belanda yang
puluhan tahun berusaha menaklukkannya.
Syahid
Lapan
Tak jauh dari Kuta Gle, sekitar beberapa belas kilometer ke arah
timur. sebuah situs sejarah perjuangan melawan Belanda juga terdapat di Desa
Tambue Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen. Situs tersebut berupa makam
delapan pejuang yang dinamai Syahid Lapan.
Dinamakan
makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang gugur
melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda
Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee
Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang
Salem Blang Teumulek.
Kisah
keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding makam.
Peristiwa heroik itu terjadi pada awal
tahun 1902, para Syuhada Lapan menghadang pasukan marsose. Pasukan pribumi
binaan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka semuanya bersenjata api.
Sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh tersebut hanya bersenjatakan pedang.
Tapi berkat semangat juang yang tinggi, mereka berhasil menewaskan semua
marsose tersebut.
Setelah
pasukan Lapan berhasil melumpuhkan semua
serdadu marsose, lalu mereka mengumpulkan
senjata milik penjajah tersebut. Mereka larut dalam euphoria kemenangan.
Tanpa mereka sadari tiba-tiba sejumlah serdadu marsose lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan. Kedelapan
pejuang itu diserang secara membabi buta dan gugur bersimbah darah.
Jasad
para syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang. Sebab serdadu marsose
mencincang-cincang bagian tubuh para pejuang tersebut dengan pedang
milik mereka sendiri.
Kini,
saban hari makam Syuhada Lapan banyak didatangi orang yang ingin bernazar.
Bukan hanya dari Kabupaten Bireuen, tapi juga dari daerah lainnya di luar
Kabupaten Bireuen. Setiap hari libur ada saja yang datang untuk melepas nazar,
seperi menyembelih sapi atau kambing di Makam itu.
Para
pengguna jalan juga selalu berhenti sebentar begitu tiba di depan kuburan
Syuhada Lapan untuk memberi sumbangan. Di depan makam memang telah disediakan
celengan beton berbentuk miniatur rumah. Konon kabarnya, apabila para pengguna
jalan tidak berhenti dan memberi sedekah jika melewati makam tersebut, maka
akan mengalami hambatan di perjalanan.
Yang
agak unik makam Syuhada Lapan dinaungi sebatang pohon yang rindang, yakni pohon
Sala Teungeut. Dinamakan pohom sala teungeut, karena sekitar pukul
18.00 WIB daun-daun pohon itu menguncup dengan sendirinya, seiring senja datang
dan kembali mekar keesokan harinya. Pohon itu tiga tahun lebih muda dari usia
makam Syuhada Lapan, sampai sekarang masih tetap kokoh dan kuat.
Heroisme Melawan
Belanda
Heroisme
perang melawan Belanda terjadi di seluruh Aceh. Namun beragam peritiwa sejarah
tersebut seolah terlupakan. Perlawanan rakyat Aceh dimulai setelah Belanda menguasai pusat Kerjaaan Aceh (Dalam) pada 31 Januari 1874. Setelah agresi Belanda pada maret
1973 gagal total dengan tewasnya Jendral JHR Kohler di depan Mesjid Raya
Baiturrahman.
Setelah
menguasai Dalam, pihak Belanda melalui Letnan Jenderal van Swieten
mengeluarkan proklamasi bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan
kedudukan Sultan dan menempatkan Daerah Aceh Besar menjadi milik Pemerintah
Hindia Belanda. Pihak Belanda berusaha agar daerah-daerah di luar Aceh Besar
mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda, dan jika tidak dapat dengan
jalan damai, akan dilakukan dengan kekerasan.
Pihak Belanda menyangka dengan
menduduki Dalam dan sebagian kecil daerah Aceh Besar serta dengan sebuah
proklamasi, dapat membuat daerah Aceh lainnya takluk kepada Belanda.
Kenyataannya, perlawanan pihak Aceh semakin berkobar.
Meskipun van Swieten telah memproklamasikan
bahwa Pemerintah Hindia Belanda menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap
mengangkat pengganti Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan
Tuanku Muhammad Daud bergelar Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (putra Tuanku
Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah).
Perlawanan pihak Aceh terus berlanjut hingga menjelang
awal kedatangan Jepang (1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan
uleebalang serta disemangati oleh
pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair
yang membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut
sebagai kafir yang harus dilawan.
Syair-syair tersebut, di antaranya
Hikayat Prang Sabi (Teungku Chik Pante Kulu), Hikayat Prang Kompeni (Do
Karim/Abdul Karim), dan sebagainya. Antipati juga disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan
rakyat Aceh untuk mengibarkan Bendera Alam Peudeueng
dan harus mengibarkan Bendera Belanda.
Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang
Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di atas, melahirkan banyak
catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete
(Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke
overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men
te maken had men telrijken, energieken vijand,... met een volk van een
ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte... die ervaring leert in
een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens
rijk met den valvan zijn Kraton zou ineenstorten maar tegenover een
volksoorlong, die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over
geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
(“telah
diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi,
pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu
adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, ... suatu bangsa yang tidak
gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan... Pengalaman
itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat menghadapi seorang Sultan, yang
kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya Kraton, akan tetapi kita menghadapi
rakyat yang menentukan harta-benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti
cinta tanah air”).
Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri
Urusan Koloni Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan
kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande
doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte” (“Kita telah
menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi
maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan”).
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai
Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun
wanita). Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh,
yang menulis: “De Atjehschevrouw, fier en depper, was de
verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste
onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en
doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster
van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van
den dood spuwde zij hem, den kaphe in het gezicht”
(“Wanita Aceh
gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan,
terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan
mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai
rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi
maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe”).
Perang antara pihak Belanda dan pihak
Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B.
Hooyer (1897) menulis: “Geen benden van Diepo Negoro of Sentot, geen
dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of ruitmassa’s der Bonieren
ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zooveel
stoutheid bij den aanval, zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid
in tegenspoed, als die door den vrijheidlievenden, fanatieken, voor den
guerilla-krijg als geschapen Atjeher werden betoond. Daarom zal de
Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor ons leger, ...”
(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau
Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak ada pasukan Padri yang sedemikian
fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah
memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam
pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan pada penyerangan,
demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih di dalam
menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta
kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya, perang
Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita, ...”).
Zentgraaf, menutup dengan kalimat:
“Cemme ils
tombent bien.... en is er een volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike
figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (... dan adakah suatu bangsa di bumi
ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa
penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”).[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh
dengan judul Penyerangan Belanda ke Kuta Gle, Batee Iliek. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://acehsky.blogspot.com/2012/06/penyerangan-belanda-ke-kuta-gle-batee.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Jumat, 29 Juni 2012