Cut Nyak Meutia |
H C Zentgraaff penulis berkebangsaan
Belanda sangat mengagumi perempuan Aceh dalam tulisannya tentang perang Aceh. Cut Nyak
Meutia salah satu dari sekian banyak wanita yang dipuja dalam bukunya.
H C Zentgraaff
merupakan mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi
wartawan. Terakhir menjabat sebagai redaktur di surat kabar Java Bode. Tulisan-tulisannya di surat kabar
tersebut kerap “menyerang” pemerintah kolonial Belanda. Ia mengkritik kekerasan
dan kebrutalan yang dilakukan oleh pasukan marsose.
Tulisan-tulisannya
tentang perang di Aceh kemudian dibukukan dalam buku “Aceh” terakhir diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1982/1983, yang diterjemahkan dari buku aslinya “Atjeh” oleh Firdaus Burhan. Dalam buku itu Zentgraaf mengungkapkan
kekagumannya kepada wanita Aceh yang tidak hanya menjadi pendorong bagi
suaminya dalam berperang melawan Belanda, tapi juga ikut terjun dalam garis
depan peperangan. Ia menulis:
“...Wanita
Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak
gentar mati. Bahkan, mereka melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal
bukan sebagai lelaki yang lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama
mereka. Mereka menerima hak azasinya di medan juang dan melahirkan anak-anak
mereka di antara dua serbuan penyergapan. Mereka berjuang bersama-sama
suaminya, kadang-kadang di sampingnya atau di depannya, dan dalam tangan yang
mungil itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya. Wanita
Aceh berperang di jalan Allah, mereka menolak segala macam kompromi...”
Bahkan lebih
lanjut Zentgraaff mengungkapkan, sebagaimana dikutip kembali oleh Nasruddin
Sulaiman dalam Wanita-wanita Utana
Nusantara dalam Lintasan Sejarah, bukan suatu kemustahilan bila ada
perempuan Aceh yang tidak mau lagi mengakui suaminya karena telah melapor diri
(menyerah) kepada Belanda, apalagi kalau suami mereka telah bekerja sama dengan
Belanda.
Zentgraaf
mengungkapkan, Cut Nyak Meutia merupakan salah satu di antara banyak perempuan
Aceh yang bersikap seperti itu, yang berjuang melawan Belanda sampai titik
darah penghabisan. Cut Nyak Meutia lahir di daerah Uleebalang Keureutoe pada
tahun 1870. Zentgraaf mengambarkannya sebagai perempuan dengan paras cantik, ia
menulis, “Pada umurnya yang menanjak dewasa parasnya yang cantik semakin tampak
dan sesuai benar dengan namanya, Meutia yang berarti mutiara. Sesungguhnya ia
sebutir mutiara di antara kaum wanita. Meutia tidak hanya berwajah cantik,
melainkan juga seorang tokoh pemberani dan agung.”
Cut Nyak
Meutia adalah putri dari Teuku Ben Daud, uleebalang Pirak yang masuk dalam
wilayah Keureutoe. Ibu Cut Nyak Meutia bernama Cut Jah putri dari Ben Seuleumak.
Ibu Cut Nyak Meutia juga dipanggil Cut Mulieng karena berasal dari Gampong
Mulieng. Dari kedua orang tuanya itu, Cut Nyak Meutia mempunyai empat orang
saudara laki-laki, yaitu Teuku Cut Brahim, Teuku Cut Hasan, Teuku Cut Muhammad
Syah dan Teuku Cut Muhammad Ali.
Masa kecil Cut
Nyak Meutia hidup dalam didikan agama yang diajarkan oleh para ulama yang
didatangkan oleh ayahnya sebagai tenaga pengajar, sebagaimana lazimnya
dilakukan oleh keluarga uleebalang di Aceh. Hal itu membuat Cut Nyak Meutia
menjadi pribadi yang taat dan teguh memegang prinsip. Ia rela berkorban apa
saja baik harta benda, kedudukan dan nyawanya untuk membela agama dan
bangsanya.
Hal itu
dibuktikannya ketika ia dengan suka rela meninggalkan kesenangan dan kemewahan
hidupnya sebagai seorang istri uleebalang, begitu mengetahui suaminya menjalin
kerja sama dengan Belanda. Setelah suaminya bersedia menandatangani korte verklaring yang diajukan Belanda,
Cut Nyak Meutia memilih berpisah dengan suaminya dan mengembara untuk berjuang
melawan penjajahan Belanda.
Untuk melawan Belanda, rakyat Keuretoe dan Pirak
dipersiapkan melalui pendidikam di dayah-dayah. Di Keuereutoe saat itu terdapat
sebuah dayah yang sangat terkenal yakni Dayah Teungku Beuringen.
Ayah Cut Nyak
Meutia, Teuku Ben Daud terus menggalakkan peperangan untuk melawan Belanda. Ia
merupakan pengikut setia Sulthan Aceh, Muhammad Daud Syah, yang saat itu sudah
memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan ke Keumala, Pidie. Bantuan yang
diberikan Teuku Ben Daud kepada sulthan semakin besar ketika sebagian Aceh
Utara sudah dikuasai Belanda. Ia mengkoordinasi rakyatnya untuk mengumpulkan
perbekalan serta membentuk angkatan perang.
Teuku Ben Daud
yang dibantu oleh anak-anaknya, para ulama dan pengikutnya, tetap menolak untuk
bekerja sama dengan Belanda. Ia tidak bersedia menandatangani Korte Verklaring yang ditawarkn Belanda meskipun beberapa
uleebalang yang ada disekitarnya sudah melakukannya. Maka perang pun berlanjut
dan Belanda akhirnya bisa menuasai darah kekuasaan Teuku Ben Daud.
Meski daerah
kekuasaannya telah dikuasai Belanda, Teuku Ben Daud terus melakukan perlawanan.
Ia mengundurkan diri ke daerah hulu Krueng Jambo Aye, dari sana ia terus
mengkoordinir pasukannya untuk menyerang Belanda, hingga ia syahid di sana.
Sejak tahun 1905, daerah itu pula yang digunakan Cut Nyak Meutia sebagai pusat
pertahanan.
Dipinang
Sebagai gadis
dari keturunan uleebalang, yang cantik dan taat beragaman, Cut Nyak Meutia
menarik perhatian banyak lelaki. Banyak pinangan yang datang, tapi Teuku Ben Daud
tidak mengambil keputusan sendiri, hal itu selalu ditanyakan kepada Cut Nyak
Meutia.
Dari sekian
banyak pinangan yang datang, hanya pinangan dari Cut Nyak Asia yang diterima.
Cut Nak Asia waktu ittu ingin menikahkan puteranya, Teuku Syamsarif dengan Cut
Nyak Meutia. Begitu menerima lamaran itu, Teuku Ben daud langsung melakukan
musyawarah keluarga. Hasilnya diputuskan kesepkatan untuk menerima pinangan
tersebut.
Perkawinan Cut
Nyak Meutia dengan Teuku Syamsyarif terjadi pada tahun 1890. Setelah menikah,
Cut Nyak Meutia menetap di Keureutoe bersama suaminya. Di Keureutoe Cut Nyak
Meutia memulai hidup baru dengan wilayah kekuasaan yang melebihi daerah
keuleebalangan Pirak. Sejak menikah dengan Teuku Syamsyarif, nama Cut Meutia
mendapat tambahan gelar Nyak, sehingga menjadi Cut Nyak Meutia.
Masa awal
kehidupan rumah tangganya dengan Teuku Syamsyarif di Keureutoe dilalui dengan
biasa-biasa saja. Cut Nyak Meutia menjalankan kehidupannya sebagai orang yang
taat beragama, yang tidak mengharapkan kemewahan. Ia tetap memendam permusuhan
terhadap Belanda yang mulai menguasai sebagai daerah Aceh Utara. Kepribadian
Cut Nyak Meutia yang seperti itu tidak dapat diubah oleh siapapun, bahkan oleh
suaminya sendiri.
Sikapnya yang
menentang Belanda sangat bertolak belakang dengan sikap suaminya yang senang
pada kedudukan dan kemewahan. Malah untuk memenuhi semua itu ia bersedia
bekerja sama dengan Belanda, sehingga ia mendapat kehormatan dan kedudukan
dengan berbagai fasilitas dari Belanda. Hal inilah yang membuat Cut Nyak Meutia
tidak dapat mempertahankan kehidupan rumah tangganya.
Cut Nyak
Meutia menunjukkan sikap tidak senangnya ketika semakin hari suaminya semakin
dekat dengan Belanda. Ia berusaha merubah sikap suaminya itu untuk tidak tunduk
kepada Belanda, tapi gagal. Malah Teuku Syansyarif karena kedekatannya dengan
Belanda kemudian mendapatkan anugrah dari Van Huestz sebagai uleebalang
Keureutoe menggantikan ibunya Cut Nyak
Asiah.
Tentang hal
itu diungkapkan M.H. Du Croo dalam buku “General
Swart Pacifikator van Atjeh” terbitn 1943. Pengangkatan Teuku Syamsarif
sebagai uleebalang Keureutoe sangat melukai hati Cut Nyak Meutia. Padahal jauh
sebelumnya, Sultah Aceh Muhammad Daud Syah telah mengangkat Teuku Cut Muhammad,
adiknya Teuku Syamsyarif sebagai uleebalang melalui sarakata sultan lengkap dengan stempel kerajaan.
Sulthan
mengangkat Teuku Cut Muhammad sebagai uleebalang, karena ia merupakan figur
yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat. Upaya Belanda mengangkat Teuku
Syamsyarif sebagai uleebalang dinilia sebagai bagian dari politik untuk memecah
belah rakyat Keureutoe. Kedekatan Teuku Syamsyarif dengan Belanda juga
bertujuan untuk merebut kekuasaan adiknya sebagao uleebalang dengan banuan
Belanda.
Karena itu di
Keureutoe wakti itu terdapat dua uleebalang, yang satu Teuku Cut Muhammad yang
digelari Tuuku Chik Tunong karena berkedudukan di Tunong (utara), satu lagi
Teuku Syamsyarif yang digelari Teuku Chik di Baroh karena wilayah kekuasaannya
ada diBaroh (utara), yang satu diangkat oleh sulthan satunya lagi oleh Belanda.
Teuku Cut
Muhammad uleebalang yang diangkat oleh sulthan merupakan tokoh yang kuat
kepribadiannya, yang berperang bersama rakyat melawan Belanda. Ia mempunyai pengaruh yang luas sampai ke
luar wilayah kekuasaannya. Sebaliknya Teuku Syamsyarif yang diangkat oleh
Belanda merupakan tokoh yang lamban yang tidak didengar perintahnya oleh rakyat
Keuretoe.
Dalam keadaan
seperti itu, Cut Nyak Meutia berontak pada suaminya, ia teringat pada ayah dan
keluarganya yang giat berjuang melawan Belanda. Ia sama sekali tidak senang
dengan sikap suaminya yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. Perubahan
sikap Cut Nyak Meutia itu dirasakan oleh suaminya, Tetapi Teuku Syamsyarif
tidak mengetahui penyebabnya.
Suatu malam
setelah shalat magrib, Teuku Syamsyarif bertanya pada Cut Nyak Meutia tentang
perubahan sikapnya tersebut. Terhadap pertanyaan itu Cut Nyak Meutia menjawab
bahwa secara tidak langsung suaminya itu sudah mengetahuinya. Tapi Teuku
Syamsyarif mengatakan tidak mengetahuinya, hingga ia kemudian berkata bahwa
bukankah setiap wanita menginginkan kedudukan yang tinggi dengan kemewahan
hidup. Terhadap pernyataan suaminya itu, Cut Nyak Meutia menjawab bahwa
suaminya itu tidak memiliki derajat tinggi tapi ditinggikan oleh Belanda. Ia
meminta kepada suamninya itu agar diceraikan dan dikembalikan kepada ayahnya di
Pirak.
Mendengar
permintaan itu, Teuku Syamsyarif terkejut. Ia sama sekali tidak menduga Cut
Nyak Meutia akan meminta seperti itu. Ia berusaha membujuk Cut Nyak Meutia agar
tidak meminta cerai. Mereka bedua kemudian melaksnakan shalat isya berjamaah
yang diimami oleh Teuku Syamsyarif, seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara
keduanya.
Jauh sebelum
permintaan cerai itu disampaikan oleh Cut Nyak Meutia, ia sudah berulang kali
menyampaikan kepada suaminya bahwa tempatnya bukan di Keureutoe, bukan dalam
genggaman Belanda, tapi di tanah merdeka. Ia ingin bergabung dengan ayah
dan saudara-saudaranya yang masih
berjuang melawan Belanda.
Terhadap
prinsip Cut Nyak Meutia itu Zentgraaff menulis: “Wanita semacam ini bukanlah
pasangan Teuku Bentara (Syamsyarif) yang lamban itu, tidak pula cocok sebagai
pasangan untuk mengabdi pada kompeni. Dia seorang putri bangsawan, hati dan
jiwanya tertambat kepada kaum yang pantang menyerah, kaum yang berada di daerah
pegunungan, yaitu para pejuang yang memilih jalan Allah. Di sanalah seharusnya
cut Nyak Meutia berada dan terbebas dari kaphe
(Belanda).”
Cut Nyak
Meutia kemudian meninggalkan Keureuto kembali ke Pirak ke tempat ayahnya, Teuku
Syamsyarif tidak pernah menjenguknya, dan bahkan tidak pernah mengirim nafkah.
Ia pernah meminta kepad ayah Cut Nyak Meutia, Teuku Ben Daud agar Cut Nyak
Meutia diantar kembali ke Keureutoe, ayah Cut Nyak Meutia tidak menolaknya,
tapi ia meminta agar Teuku Syamsyarif menjemputnya sendiri kalau masih merasa
membutuhkan istrinya. Hal itu tidak dilakukan Teuku Syamsyarif karena antara
dirinya dan Cut Nyak Meutia sudah sangat jauh berbeda prinsip.
Karena tidak
dijemput dan menafkahi istrinya sampai beberapa lama, maka Teuku Syamsyarif dinyatakan
dipasah (diceraikan) dari istrinya. Setelah bercerai, Cut Nyak Meutia terbebas
dari penderitaan batin. Ia kemudian menyatakan keinginannya pada ayahnya untuk
ikut berperang melawan Belanda. Tapi keinginan itu tidak dikabulkan oleh
ayahnya karena Cut Nyak Meutia baru menjadi janda.[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh
dengan judul Cut Nyak Meutia (II) Perempuan yang Dipuja Belanda. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://acehsky.blogspot.com/2012/08/cut-nyak-meutia-ii-perempuan-yang.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012