Cut
Ali salah seorang panglima dari pejuang
Aceh, memiliki kemampuan ghaib dengan doa-doanya kepada Allah. Doa-doa religius
yang menyelamatkanya dari serangkaian pertempuran. Ia sangat piawai memainkan
kelewang.
Dengan
nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang.
Allah
adalah pelindung saya.
Tiada
tuhan melainkan Allah,
Malaikat-malaikat
Jibril, Mikail, dan israfil
Berada
pada tanga kanan dan tangan kiri saya
Dimuka, di
belakang, di atas, dan di bawah saya.
Saya
dikelilingi oleh kesaksian
Tiada
tuhan selain Allah,
Saya pergi
dengan kasih sayang Allah,
Yang
menyebabkanku berhasil dalam alam ghaib
Tuhanku
adalah Allah.
Itulah
sepenggal kutipan doa Cut Ali.
Namun sebagai manusia biasa, Cut Ali juga harus menuai ajal. Pada Mei 1972,
pimpinan besar barisan perlawanan Aceh di pesisir barat itu syahid, setelah
ditembak seorang marsose Belanda bernama Gosenson dalam sebuah pertempuran.
Cut Ali
merupakan spirit perjuangan yang tiada tara. Dalam tahun 1925, di pesisir Barat
terjadi huru-hara. Huru-hara itu bermula dari daerah-daerah di bagian selatan,
yang saat itu dikuasi Belanda. Namun dengan taktik gerilya yang diterapkan Cut
Ali, ia berhasil membuat ketegangan dipihak Belanda kala itu. Ketegangan yang
oleh penulis Belanda, H C Zentgraaf disebutkan hampir-hampir tak terpikulkan.
Sementara
dalam tahun 1924, perlawann-perlawanan itu juga terjadi di daerah selatan.
Sehingga dalam setiap keude (pasar-red) orang menjadi sangat
hati-hati berbicara soal perang. Sementara di malam hari, penduduk disibuki
dengan membaca kitab-kitab suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi
Belanda.
Tentang
gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan
semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan,
senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya,
memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun
dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”
Patroli-patroli
Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan sering diseragap
kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam.
“Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang, dan di sini,
senjata khas adalah kelewang alias
”peudeueng” yang panjang, pedang Turki. Seseorang yangnberopleh hadiah dengan
sabetan “sabet atas’
(how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan
dunia ini,” tulis Zentgraaff.
Penduduk
yang berada di daerah Utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan
dan senapang kuno (donder bus), dan hal itu disebabkan karena daerah itu
keadaannya datar, sehingga memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan
dalam jarak jauh, setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan
senjata api itu bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang,
terutama orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung
sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.
Di daerah
pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan hutan-hutan, haruslah cara
bertempurnya berbeda. Tanah yang kasatr dan begunung-gunung ini kebenyakan
punya ciri-ciri penyergapan yang khas secara mendadak dari tempat-tempat
tersembunyi terhadap pasukan-pasukan patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat
fanatisme yang harus kita hormati,” puji Zentgraaff.
sementara
di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai Zentgraaf lebih
berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh
diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda. Hal itulah yang
membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh
sepenuhnya.
Zentgraaff
juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi itu pula yang menjadi
momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan elit belanda, marsose jatuh
karena keberanian-keberanian pejuang Aceh. Ia menulis. “Demkianlah, mereka
adalah sangat berbahaya terutama bagi serdadu-serdadu kita yang muda-muda.
Apabila serombongan musuh yang seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang
berwarna hitam, dengan peudeueng panjang yang diayunkan, sambil
berteriak menghambur kepada pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka
sungguh besar kemerosotan moril
serdadu-serdadau kita yang muda-muda, sebagaimana yang kita alami sebagai kerugian kita.”
Masih
menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh
komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh,
yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.
Di Bakongan, terdapat batu nisan
kembar, dari atas ke bawah, dan dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama
serdadu-serdadu yang tewas pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner
dalam tahun 1905. Pasukan patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris
menuju berbagai arah.
Pada malam
yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu
dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yangsatu
lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas
olah pihak musuh.
Pada
serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir Barat tersebut,
misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang
waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan belanda itu tewas. Lima belas
pucuk karaben pasukan belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.
Demikian
pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris, karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka
pejuang Aceh memanfaatkan kesempatan itu. “Kita masih ingat akan
kejadian yang malang itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua
prajuritnya tewas, dan berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang
dalam keadaan luka parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa kecil dari
pasukan itu dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,”
tulis Zentgraaff.
Setiap
kekeliruan pasukan belanda itu, harus ditebus dengan darah. Pada tahun 1962,
Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan. ”Ia merupakan suatu daftar
nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan mengerikan bagi belanda.
“Dan, melebihi segala serangan
kelewang tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian
menentang maut yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion
dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam
sejarah Aceh.” Jelas Zentrgaaff.
Memburu Cut Ali
Untuk
memburu gerilyawan Cut Ali, Belanda terus mengirim opsir-opsirnya ke Aceh,
yakni panglima-panglima marsose kawakan ke daerah pesisir barat. Diantara opsir
adalah Snell dan Gesenson. Snell kemudian berhasil mengendus tempat gerilyawan
Cut Ali. Ia pun kemudian berangkan dengan kekuatan pasukan delapan brigade.
Dalam
penyergapan besar-besaran itu, pasukan Snell berhasil menewaskan salah seorang
panglima bernama Teungku Maulud, serta merampas tujuh pucuk karaben dari
pejuang Aceh. Meskipun demikian, pertarungan
masih jauh dari selesai, Cut Ali sudah sembuh kembali, dan rakyat
tetap bersemangat untuk bergabung kepadanya serta para penglimanya.
Musibah
yang telah menimpa pasukan patroli pimpinan komandan Paris yang bergerak secara
ceroboh itu, sudah menjadi buah bibir, pengaruhnya amat besar pada barisan
pejuang Aceh. Tetapi pasukan Cut Ali tidak begitu berhasil menghadapi pasukan
patroli pimpinan Batten, yang telah memberikan perlawanan tangguh dan tidak
kehilangan satu pun senapang karabennya, walaupun banyak serdadu yang menderita
luka.
“Pihak
lawan menderita 10 orang tewas. Lebih buruk lagi keadaan yang mereka alami tak
kala menyergap pasukan patroli pimpinan komandan Klaar, yang memberikan
tangkisan sengit serta bertarung dengan cemerlang, sehingga Letnan Klaar
menerima tanda jasa nya,” tulis HC zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang
dimasa pensiunnya menjadi wartawan.
Pada Mei
dan Juni 1926, penduduk Trumon bersikap sangat menantang, dan keadaan
menampakkan bahwa masih banyak darah akan mengalir. Inti perlawanan itu,
dipimpin Cut Ali, yang kembali mengobarkan semangat perang. Nafsu untuk
mengadakan petualangan perang berkobar di mana-mana, dan rombongan-rombongan
anak-anak muda yang hanya bersenjatakan tajam belaka berani-berani menyerbu
karaben-karaben pasukan-pasukan Belanda.
Zentgraaff
menggambarkan Cut Ali sebagai seorang tokoh jantan berwatak, yang memiliki jiwa
ksatria, yang membuat lawan pun mengaguminya. Pada masa itu ada seorang Kapten,
yang menjadi Komandan sebuah bivak militer di Ladang Rimba, yang tidak punya
jiwa militer, serta enggan bertempur. “Bivak militer itu di suruhnya buat tiga
lapis pagar di sekelilingnya, lengkap dengan jalur berisi ranjau-ranjau,
sehingga persis keadaannya seperti suatu benteng terpusat, kenangan yang tidak
nikmat untuk diingat. Sudah tentulah dia tidak pernah pergi ke luar bivaknya
untuk berpatroli, karena takut terhadap pasukan Cut Ali, dan ini tidak baik,”
tulis Zentgraaff.
Terhadap
sikap perwira Belanda yang dinilai pengecut tersebut, Cut Ali mengirim surat
kepadanya. Isi surat itu, menetangnya untuk berkelahi. “surat-surat tersebut
penuh dengan ancaman-ancaman, datang berulang-ulang dan hal ini sungguh
memalukan bagi kita,” lanjut Zentgraaff.
Tapi
Kapten Belanda itu tidak berkutik. Hal itu pula yang membuat wibawa Cut Ali di
mata rakyatnya semakin besar. Seluaruh penduduk merasa puas terhadap keberanian
Cut Ali yang telah membuat perwira Belanda mengurung diri dalam bivaknya, takut
keluar untuk patroli, apalagi berperang secara frontal.
Keadaan
itu kemudian diketahui oleh perwira Belanda lainnya bernama, Behrens. Ia segera
berakat dengan pasukanya ke sana. Ia memerintahkan agar Pagar bambu yang
berlapis-lapis di sekeliling bivak itu untuk dibongkar dan di singkirkan dari
sana. Bahrens terus berusah membangkitkan kembali semangat opara marsose di
sana, sampai tahun 1926 suasana menjadi normal kembali.
Kemudian
harinya, ketika Letnan Molenaar, anggota pasukan patroli di bawah Komando
Behrens, mati terbunuh pada suatu penyerangan pada malam hari di pekarangan
sebuah sekolah di kampung Teureubangan- ini adalah perploncoan bagi Teuku Nago
untuk dapat menjadi panglima- dan Behrens bergerak pulang membawa mayat opsir
tersebut.
Kepadanya
kemudian datang seorang penduduk membawa surat Cut Ali. Isi surat itu, “Saya berada di sini dengan 80 pasukan, dan
kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik
tinggal di rumah saja.” Surat yang menantang dari Cut Ali membuat Behrens dan
anak buahnya berpikir berulang kali untuk memenuhinya. ”Cut Ali
betah sekali membuat surat-surat yang demikian; dia selalu menyediakan berbagai
macam surat, dan sebagian surat-surat tersebut dapat kita rampas,” jelas
Zentgraaff.
Karena tak
mampu memburu gerilyawan Cut Ali, pada Juli 1926, Belanda kemudian mengutus
kapten Gosenson untuk membantu Behrens. Gosenson ditunjuk sebagai pejabat
Kontrolur bagi daerah Aceh Selatan, yakni Kluet dan Trumon.
Karena itu
Gosenson terlebih dahulu menuju ke Trumon, di mana ia melakukan gerak cepat
dalam penumpasan dan dalam tempo yang singkat begitu banyaknya memberikan
kemplengan. Ia pun menggunakan orang Aceh sebagai mata-mata untuk memburu
gerilyawan Cut Ali. Tapi cuak-cuak itu malah lebih banyak yang ketahuan dan
mati di tangan Cut Ali.
Gosenson
tak kehabisan akal, ia kemudian membuat seruan, gerilyawan Aceh yang menyerah
akan diperlakukan dengan baik. Syaratnya, saat menyerah harus menyerahkan satu
kelewang, satu rencong atau tombak. Selanjutnya mereka harus menyerahkan diri
menurut adat Aceh. Ada sebagian gerilyawan Aceh yang menyerah, tapi lebih
banyak dari yang menyerah itu hanyalah sebagai alasan jeda sesaat untuk pulang
kampung, sebelum kemudian berbelot lagi menentang Belanda.
Dalam
bulan Juli 1926, rombongan Cut Ali masih melakukan lagi serangan kelewang
terhadap pasukan patroli pimpinan Schreuder, tetapi tidak berhasil. Karena
pasukan itu tidak mengejar mereka, tetapi bahkan sebaliknya bahkan bergerak
pulang, maka Cut Ali merasakan itu sebagai suatu kemenangan baginya.
Dia
berdiri di tengah kampung, sambil membuat sikap seolah-olah orang yang
memperhatikan sesuatu di kejauhan dengan tangan di atas mata nya, meninjau ke
hutan dan berkata, “Ho Ka Kompeuni?“
(Di mana Kamu Pasukan Kompeuni ?) Ini merupakan lelucon besar dan semua orang
senang di buatnya. Seluruh Isi Kampung itu ikut mengajuk bertanya, “Di mana
Kamu Kompeuni ?” Hal itu adalah untuk menghina kita, dan Cut Ali adalah orang
besar yang selalu banyak humornya.
Selama
tujuh hari Cut Ali dan masyarakat sekitar mengadakan perayaan di kampung itu.
Masakan daging melimpah ruah, semua orang memberikan sumbangan dan ikut
berpesta. Ada seorang perempuan yang sangat tua, rambutnya yang beruban putih
terumbai pada wajahnya, keriput dimakan penghidupan yang bekerja keras di
ladang, menyeret seekor kambing, satu-satunya yang menjadi miliknya.
Dia
melakukan sembah dengan hormat kepada Cut Ali sambil berkata, “Nyoe Peuneujoe ulon nibak droeneu teuku
ampon.”(“Inilah sumbangan dari saya, pemimpin besar”) Kambing itu kemudian
di sembelih dan di buat gulai kambing yang enak. Perempuan tua itu merasa
sangat berbahagia, oleh karena hak miliknya satu-satunya itu mendapat berkat
pada pemimpin besar yang telah mengalahkan orang-orang Belanda. Setelah pesta
itu, Cut Ali dan pasukannya kembali masuk hutan untuk bergerilya, melakukan
konsolidasi untuk kemudian kembali melakukan serangan.[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh
dengan judul Cut Ali, Panglima dalam Keghaiban. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://acehsky.blogspot.com/2012/08/cut-ali-panglima-dalam-keghaiban_1.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012