Denyut politik di Aceh menjelang Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh (Gubernur) periode 2012-2017 kian terasa. Perempuan yang diharapkan hadir sebagai calon alternatif di tengah dominasi kaum pria. Aceh, Inggris dan Rusia punya sejarah tentang itu.
Namun, sampai pendaftaran calon gubernur ditutup. Tak ada satupun perempuan yang muncul sebagai calon gubernur Aceh. Padahal Hitung-hitungan kasar, perempuan merupakan pemilih terbesar di Aceh, jumlah mereka melebihi jumlah pemilih laki-laki. Kalau slogan lama “perempuan memilih perempuan” berlaku, maka sahlah Aceh dipimpin oleh gubernur perempuan, kalau calon dari kaum perempuan itu ada. Masalahnya, tidak ada kandidat calon gubernur Aceh dari kalangan perempuan.Pengalaman pada pemilihan legislatif tahun 2009 lalu, perempuan hanya dijadikan sebagai “magnet” bagi pemilih perempuan untuk mendongkrak perolehan suara bagi kandidat laki-laki. Kandidat dari kalangan perempuan lebih banyak berada pada nomor urut belakang. Sangat jarang—bahkan tidak ada—calon perempuan yang ditempatkan pada nomor urut pertama.
Keberadaan calon perempuan dalam daftar calon anggota legislatif hanya untuk memenuhi ketentuan undang-undang semata, yakni pemenuhan quota 30 persen perempuan daftar kandidat calon anggota legislatif suatu partai. Jadinya, perempuan hanya jadi pendulang suara saja.
Perempuan dalam kancah politik Aceh pernah mencoba bangkit pada tahun 2006 lalu. Aktivis perempuan di Aceh membentuk partai lokal di Aceh, Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA) sebagai wadah untuk perjuangan politik perempuan. Namun PARA sebagai partai perempuan pertama di Indonesia itu ternyata tidak lulus verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lalu pada pemilihan Gubernur Aceh tahun 2006, dua perempuan juga mencalonkan diri melalui jalur independen. Satu sebagai calon gubernur satu sebagai calon wakil gubernur. Namun juga gagal, mereka dinyatakan tidak lewat karena tidak lolos tes baca Alquran. Bagaimana dengan pemilihan gubernur akhir 2011 nanti, akankah perempuan kembali muncul, atau hanya sebagai pelengkap saja?
Keterlibatan perempuan dalam kancah politik bukanlah hal yang baru di Aceh. Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh empat sulthanah yang melanjutkan kejayaan Sultan Iskandar Muda. Mereka adalah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675). Ia mangkat pada 23 Oktober 1675.
Tahta kerajaan Aceh kemudian dipegang oleh Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675 – 1678). Meski hanya tiga tahun menjabat sebagaiu sulthanah, ia mampu mengubah tatanan politik dan birokrasi Kerajaan Aceh. Atas nasehat Mufti Kerajaan Aceh waktu itu, Syeikh Abdul Rauf As Singkili (Tgk Syiah Kuala), Aceh dibagi menjadi tiga sagi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh lhee sagoe.
Pemerintahannya kemudian dilanjutkan Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah. Sulthanah ini dikenal lihat dalam politik luar negeri. Pada masa pemerintahannya, diplomat dari Kerajaan Inggris datang ke Aceh. Untuk mengamankan misi dagang Inggris di Selat Malaka, Inggris mengajukan proposal kerja sama ke Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah. Isinya, Inggris ingin membangun benteng di Aceh untuk kepentingan dagangnya.
Hal itu ditolak, ia menyatakan Kerajaan Aceh sanggup memberi keamanan setiap misi dagang yang singgah di pelabuhan Aceh. Inggris dibolehkan masuk ke Aceh, tapi tidak diizinkan mendirikan benteng sendiri. Setelah dia mangkat, tampuk kerajaan Aceh dipegang oelh Sulthanan Zainatuddin Kemalat Syah. Pada masa pemerintahannya, berbagai misi dagang Eropa datang ke Aceh, seperti dari Persatuan Dagang Perancis, Serikat Dagang Inggris, dan East Indian Company.
Mengapa para perempuan Aceh zaman itu mampu memegang kendali kerajaan sampai empat orang secara turun temurun?. Inilah yang menjadi bahasan dalam berbagai literatur sejarah pergerakan perempuan dunia abad ke-17. Kala itu Aceh telah menjadi contoh rujukan emansipasi perempuan di dunia. Ini yang disebut Robern Green sebagai kelebihan perempuan dalam memimpin.
Kepemimpinan para sulthanah di Aceh lebih fleksibel. Sama seperti yang kelak dilakukan oleh Ratu Elizabeth di Inggris dan Kaisar Chaterine the Great dari Rusia. Di Aceh, ketika terjadi pertentangan antara paham wujudiah dengan ahlulsunnah waljamaah, para sulthanan mengambil jalan tengah, yang membuat kekuasaannya langgeng. Mereka memimpin tidak meledak-ledak seperti kaum pria yang langsung menyatakan sikap dukungannya terhadap salah satu golongan.
Begitu juga ketika di Inggris terjadi pertentangan antara golongan katolik dengan protestan, Ratu Elizabeth melaju lewat jalur tengah. Ia menghindari persekutuan-persekutuan yang bisa menyebabkan dirinya memihak salah satu golongan. Dengan tetap berada di jalur tengah, ia bisa menggunakan pengaruhnya pada kedua golongan tersebut, dan kekuasaannya akan langgeng.
Chaterin the Great juga melakukan hal yang sama di Rusia, setelah menggulingkan suaminya Kaisar Peter II dan mengambil alih kendali Rusia pada tahun 1762. Gaya kepemimpinan perempuan yang feminim seperti Chaterin sangat susah ditebak. Ia selalu selangkah lebih maju dari langkah politik lawannya. Ia mampu beradaptasi dengan perlawanan lawan-lawan politiknya dengan tak pernah memaksa rakyat. Kepemimpinannya juga langgeng, dan dia bisa mereformasi Rusia dalam kurun waktu yang singkat.
Kepemimpinan perempuan-perempuan yang telah tercatat sejarah itu, selalu muncul sebagai alternatif di tengan pertentangan politik kaum pria. Kondisi politik Aceh hari ini juga menjurus pada hal demikian. Pertanyaannya sekarang, adakah perempuan di Aceh yang maju sebagai calon gubernur di tengah pertentangan politik kaum pria selama ini?
Melihat jumlah pemilih perempuan yang melebihi 60 persen, sebenarnya Aceh memiliki kesempatan untuk memiliki gubernur perempuan. Tapi gerakan perempuan di Aceh belum mampu memanfaatkan potensi besar itu.
Penyebabnya, gerakan perempuan di Aceh masih bermain pada tataran upaya mempengaruhi kebijakan politik yang berpihak kepada perempuan di tengah dominasi politik kaum pria. Perempuan di Aceh belum mampu tampil dalam kancah politik secara maksimal. Beberapa perempuan yang berhasil duduk di lembaga legislatif pun, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, tenggelam dalam dominasi kaum pria. Sangat jarang—kalau tidak boleh dikatakan tidak ada—politisi perempuan muncul di media berbicara tentang kaum perempuan.
Bisa jadi itu terjadi karena politisi perempuan yang terpilih untuk menduduki kursi legislatif merupakan “ban serap” yang diorbitkan oleh politisi pria untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan dalam pencalonan saat pemilihan dilakukan. Belum ada politisi perempuan di Aceh yang tampil sendiri untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Meski demikian, kita yakin gerakan perempuan di Aceh sedang berusaha menuju ke sana. Kita sangat ingin melihat perempuan di Aceh melalui berbagai lembaga tidak lagi hanya sebatas mengadvokasi segala kepentingan perempuan, tapi menjadi penentu kebijakan terhadap segala hal menyangkut perempuan di Aceh. Namun, untuk menuju ke sana tidaklah mudah, apalagi masih ada lembaga perempuan di Aceh yang tidak berpihak pada perempuan.
Hal ini terungkap ketika seorang kawan mengabarkan bahwa seorang perempuan pekerja di organisasi perempuan mengajukan cuti karena hamil. Tapi jawaban yang diterima bukan cuti hamil yang diharapkannya yang didapat, melainkan permintaan agar perempuan itu mengajukan surat pengunduran diri. Bagaimana seorang permepuan bisa memperjuangkan hak-haknya bila di lembaga yang konon katanya memperjuangkan hak-hak perempuan hal itu masih terjadi. Namun saya yakin, tak semua organisasi atau lembaga perempuan yang seperti itu. Masih banyak lembaga-lembaga perempuan lain di Aceh yang benar-benar konsen memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Gerakan perempuan di Aceh sekarang sudah berada di koridor yang benar, tinggal menapaki tangga selanjutnya, dari advokasi menuju ke penentu kebijakan bagi kaum perempuan. Untuk itu perempuan di Aceh harus mempersiapkan diri untuk menduduki jabatan yang strategis di pemerintahan. Bagaimanapun tanpa perempuan di pemerintahan sulit untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang benar-benar berpihak kepada perempuan. Untuk itu perlu adanya gerakan-gerakan “radikal” dan “ekstrim” yang harus dilakukan oleh perempuan. Gerakan-gerakan yang bisa mendesak penentu kebijakan untuk berpihak pada kepentingan perempuan.[Iskandar Norman]
Gerakan Perempuan di Dunia
Gerakan-gerakan perempuan di dunia
telah melakukan hal itu dan ternyata berhasil. Mereka benar-benar “ekstrim”
dalam gerakannya. Meski tak harus seekstrim mereka, setidaknya apa yang mereka
lakukan bisa menjadi contoh bagaimana sebuah gerakan menuntun
kesungguh-sunguhan yang luar biasa untuk pencapaian tujuan.
Di Filipina pada awal abad ke-19 kaum
perempuan tidak hanya berjuang untuk isu-isu perempuan saja, tapi juga pada
masalah penyelamatan lingkungan. Mereka bergerak menentang sistim penangkapan
ikan dengan menggunakan bom dan racun yang menyebabkan matinya berbagai habitat laut dan penurunan
penghasilan yang drastis bagi nelayan tradisional, serta para perempuan
kehilangan pekerjaan tradisional mereka sebagai perajut dan memperbaiki jala.
Para perempuan pesisir Filipina bangkit
menentang sistim penangkapan ikan dengan cara mekanisasi moderen tersebut.
Mengenai gerakan tersebut, penyair India, Gibrielle Dietrich mencela kaum pria
dan modernisasi yang menghancurkan alam. Dalam puisinya ia menulis:
Kamulah
(kaum pria)
yang
telah menciptakan
mesin-mesin
bagi penyebar maut
tiga
kilo ton bahan peledak
untuk
setiap orang di bumi.
Pada saat yang sama di India Utara
juga muncul gerakan Chipko, gerakan perempuan yang anti terhadap perambahan
hutan. Di bukit-bukit dan kaki gunung Himalaya mereka menggagalkan usaha-usaha
para penebang pohon dengan cara mendekap pohon-pohon tersebut.
Pada saat itu di India juga terkenal
seorang perempuan penyair, Mahadeviakka yang aktif dalam sebuah gerakan
menuntut kebebasan perempuan dari pengkondisian sosial budaya yang mengecilkan
kiprah kaum perempuan. Ia sangat geram dengan dominasi kaum pria di India saat
itu yang mengabaikan hak-hak perempuan. Ia menentang dengan sikap yang luar
biasa ektrim. Penentangan yang dilakukannya sangat unik dan profetis kontra
kultural, yang mengangkangi nilai dan norma. Bahkan kaum perempuan India
sendiri merasa malu dengan apa yang dilakukan Mahadeviakka.
Pejuangan kaum perempuan di India kala
itu kurang mendapat respon, perempuan masih saja dianggap sebagai “mesin”
produksi keturunan yang hanya jadi “budak” seks kaum pria. Kesal Kesal dan
prustasi dengan hal tersebut, Mahadeviakka mengembara telanjang bulat. Badannya
hanya ditutupi dengan rambutnya yang panjang. Ia terus menentang tradisi dan
norma-norma sosial yang berlaku saat itu di India yang minim keberpihakan pada
perempuan.
Salah satu bentuk penentangan
Mahadeviakka itu dinukil dalam puisinya:
Orang-orang
lelaki dan perempuan merah mukanya
ketika
kain penutup malu mereka terlepas
bila
Tuhan kehidupan hidup
dan
tenggelam muka dalam dunia
bagaimana
engkau bisa ugahari?
bila
seluruh dunia mata tuhan
melihat
ke mana-mana
apa
yang bisa kau tutupi dan sembunyikan?
Hal yang sama juga dilakukan penyair
India lainnya; Gibrielle Dietrich. Puisi-puisinya menggambarkan tentang
pengorbanan, penderitaan dan pertumpahan darah yang dialami kaum perempuan di
India. Dalam salah satu puisinya ia berseru:
Aku
perempuan dan darahku berseru
siapa
kamu menolak hidup
untuk
pemberi hidup?
kamu
masing-masing telah keluar dari rahim
tapi
tak ada di antara kamu
yang
mampu menahan perempuan
ketika
ia kuat
gembira
dan cakap
aku
perempuan
dan
datang bulanku menyadarkanku
bahwa
darah yang dimaksud untuk kehidupan.
Begitulah gerakan perempuan di
Filipina dan India memperjuankan hak-hak kaumnya, yang tak malu bertindak
radikal sekalipun. Apa yang telah mereka lakukan setidaknya bisa menjadi
pelajaran bahwa masih perlu keseriusan yang lebih untuk memperjuangkan gerakan
perempuan sampai pada tujuannya.[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh
dengan judul Perempuan dalam Gerakan. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://acehsky.blogspot.com/2012/06/perempuan-dalam-gerakan-oleh-iskandar.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Senin, 25 Juni 2012