Muhammad Arifin |
Siapa sebenarnya Tengku Arifin yang
berhasil membuat Belanda mempercepat invansinya ke Aceh pada Maret 1873 itu?
Menurut Menurut M Nur El Ibrahimi dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Tengku Muhammad
Arifin merupakan anak seorang pangeran asal Bengkulu yang mempunyai hubungan
dengan kraton Aceh.
Ia pernah menikah dengan kemenakan
Sultan Aceh. Ia berhasil meyakinkan Panglima Tibang untuk menggunakan jasanya
sebagai penerjemah di Singapura karena mengaku kenal baik dengan Konsul Amerika
di Singapura, Mayor Studer.
Tengku Muhammad Arifin sebelumnya
memang pernah bertemu dengan Studer. Ketika itu ia meminta bantuan kepada
Konsul Amerika di Singapura tersebut untuk meminta bantuan agar ayahnya kembali
mendapat mahkota kerajaan yang telah dicopot oleh Belanda.
Pertemuan kedua dengan Studer
dilakukan Tengku Muhammad Arifin ketika mencoba menyeret Amerika dalam masalah
Aceh. Sebelum Panglima Tibang ke Singapura Tengku Muhammad Arifin pernah
menemui Panglima Angkatan laut Amerika di Hongkong, Laksaman Jenkis. Pertemuan
dengan Jenkis itu dilakukan ketika ia singah di Singapura dalam perjalannya ke
Kalkuta.
Saat bertemu dengan Jenkis di
Singapura, Tengku Muhammad Arifin berpura-pura sebagai pangeran yang mempunyai
hubungan dengan kerajaan Aceh. Kepda Jenkis ia menanyakan apakah tidak
mempunyai keinginan untuk mengikat suatu perjanjian dengan Kerajaan Aceh.
Namun
Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak
mempunyai ambisi teritorial. Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani
membuka mulut lagi. “Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke
dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba
di Singapura,” jelas M Nur El Ibrahimy.
Namun Arifin terus memainkan peran
gandanya. Di satu sisi ia penerjemah Panglima Tibang, di sisi lain ia adalah
mata-mata Belanda yang menyampaikan segala gerak-gerik Panglima Tibang di
Singapura kepada Belanda. Hal inilah salah satu penyebab meletusnya perang Aceh
dengan Belanda.
Hal itu terkuak ketika Jamer Warren
Gould, seorang penulis asal Amerika Serikat, ahli internasional relation dari
California, melakukan penelitian untuk mengetahui sebab-musabab perang Aceh.
Tahun 1957 ia berhasil meyakinkan pemerintah Belanda untuk membuka dokumen rahasia tentang Aceh. Kisah peran ganda
Arifin dan pengkhianatan Panglima Tibang pun terungkap. Sebelumnya tak ada yang
tahu bagaimana peristiwa bersejarah itu terjadi.
Hasil penelitian itu dimuat dalam majalah
Annals of Iowa. Dunia pun terperanjat,
karena peristiwa itu sudah 80 tahun ditutupi Belanda. Kisahnya bermula dari
Panglima Tibang selaku utusan kerajaan Aceh dengan Konsul Amerika di Singapura,
Mayor Studer.
Pertemuan itu juga dinilai sebagai
gebrakan berani diplomasi luar negeri Aceh dalam mempertahankan kedaulatannya.
Pertemuan itu oleh Belanda disebut sebagai Het Veraad van Singapore yang bermakna pengkhianatan di
Singapura.
Panglima Muhammad Tibang menjumpai
Studer untuk membahas perjanjian kerja sama antara Aceh dan Amerika, karena itu
Studer dianggap Belanda sebagai pengkhianat yang ingin berkomplotan dengan
kerajaan Aceh.
Maklum hubungan Aceh dengan Belanda
saat itu tidak baik. Sultan Aceh dituduh berkhianat karena melanggar perjanjian
perdamaian dan persahabatan dengan kerajaan Belanda. Perjanjian itu dibuat pada
tahun 1857. Panglima Tibang dan Mayor Studer dinilai Belanda bertanggung jawab
terjadap meletusnya perang Aceh dengan Belanda.
Hasil penelitian Jamer Warren Gould mengungkapkan
bahwa pengkhianatan di Singapura (Het
Veraad van Singapore) yang dituduh Belanda ternyata bukan Mayor Studer dan
Panglima Tibang, tapi Tengku Muhammad Arifin, seorang mata-mata Belanda dan
Read Konsul Belanda di Singapura.
Peristiwa tentang Aceh itu lebih
mengejutkan lagi bagi dunia internasional setelah terbitnya buku De Atjeh Oorlog karangan Paul van’t Veer. Melalui buku itu
dunia internasional lebih mengetahui apa yang sebenarnya disebutkan Belanda Het Veraad van Singapore yang telah menjerumuskan Aceh dalam perang
panjang dengan Belanda.
Di sana terungkap, setelah Panglima
Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga
Sultan Aceh, yaitu Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas
perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta
keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke
Aceh dan sebelah timur. Sebelah barat operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh
van Swieten, Gubernur Sumatra Barat.
Panglima Tibang berangkat bersama
delegasi Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tgk Nyak Muhammad, Tgk Lahuda Muhammad
Said, Tgk Nyak Akob, serta Tgk Nyak Agam. Panglima Tibang bertindak sebagai
ketua delegasi tersebut. Kepada delegasi Aceh Schiff membantah bahwa Belanda
akan menyampaikan ultimatumnya. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan
dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh.
Setelah sebulan di Riau, Panglima
Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang Marnix. Tetapi ia mengatakan
kepada Schiff ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna
kepentingan transportasi di Aceh.
Di Singapura Panglima Tibang melakukan
pertemuan dengan Konsul Amerika, Mayor Studer. Seperti pada kesempatan pertama,
kali ini Panglima Tibang juga ditemani oleh Tengku Muhammad Arifin, yakni
mata-mata Belanda yang diutuskan oleh Konsul Belanda di Singapura, Read setelah
menerima informasi dari Schiff di Riau.
Dalam pertemuan itu Tengku Muhammad
Arifin dipakai oleh Panglima Tibang sebagai penerjemah. Padahal sebelumnya
Panglima Tibang telah menggunakan orang lain, namun atas bujuk rayu Tengku
Muhammad Arifin penerjemah itu tidak dipakai. Maka muluslah usaha Tengku
Muhammad Arifin untuk memata-matai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer.
Panglima Muhammad Tibang meminta
kepada Studer untuk membuat naskah perjanjian di Singapura dan dikirim ke
Washintong, Amerika Serikat secepatnya. Ia menilai perjanjian itu sangat
mendesak untuk dibuat. Tapi Studer mengatakan ia tidak punya wewenang untuk
membuat perjanjian tersebut. Meski demikain ia berjanji mengirim perjanjian
yang telah ditandatangani oleh Sultan Aceh kepada Pemerintah Amerika.
Mereka kemudian mendiskusikan
masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dan perjanjian Aceh-Amerika,
yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan
oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar.
Arifin yang ternyata mata-mata
Belanda, membocorkan isi pertemuan itu kepada Konsul Belanda di Singapura,
Read. Namun apa yang disampaikannya berbeda jauh dengan isi pembicaraan yang ia dengar.
Kepada Read ia mengatakan bahwa Studer
telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dengan Amerika yang terdiri atas
12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkis pemipin armada Amerika
di Hongkong untuk berangkat ke Aceh. Dengan kebohonganya itu Arifin meminta
kepada Belanda untuk segera mengirim kapal perangnya ke Aceh.
Kebohongan Arifin
Terungkap
Kebohongan Arifin terungkap dalam
surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke
yang isinya “Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah
membuatnya begitu katanya dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara
beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad
Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian
tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei
dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang
kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya”.
Mayor Studer sendiri kemudian
menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan
diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifin lah yang mengajukan
dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Panglima Tibang hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh
yang meminta bantuan Amerika Serikat.
Keterangan Studer ini sesuai dengan
pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk,
Kepala Biro Perbekalan Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi
Belanda kedua terhadap Aceh.
Rancangan perjanjian yang dibuat oleh
Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan
Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian
mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Panglima Tibang
usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara
Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan
kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Samua hal yang tidak
dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut
kepada Meir, wakil Read.
Baru dua minggu setelah itu Arifin
menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang
dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura.
Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan
tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku $ 2,00 permil dan $ 25,00
uang jalan.
Terungkapnya
Sebuah Intrik
Setelah dua hari berada di Singapura
Read mengirim kawat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon mengenai
pertemuan Panglima Tibang dengan Studer. Isinya, “Intrik-intrik yang sangat
serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini
memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama.”
Keesokan harinya, Read mengirimkan
laporan seperti berikut: “Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan
Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan unruk menghadapi Belanda. Konsul
Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun
sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan
mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan.
Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya”.
Laporan Read tersebut menimbulkan
kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok soal yang
terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag. Pada tanggal 18
Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk menjamin
keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824.
Pada hari yang sama Menteri Luar
Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan
konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan
negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan
di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda.
Di samping itu, Kementerian Luar
Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington
untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Aimerika, suatu nota yang
menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan
pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang
ditandatanganinya dengan Inggris.
Selain itu, disebutkan pula Belanda
telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul
Amerika di Singapura. Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan
mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil
panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar datang membawa kapal perangnya ke
perairan Aceh.
Pemerintah Belanda memandang
tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa
Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan
sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa
peradaban).
Sebagai langkah selanjutnya Belanda
memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan
usahanya mengadakan peranjian dengan perutusan Aceh.
Pada tanggal 19 Februari 1873 Den Haag
mengirim kawat kepada Batavia sebagai berikut: “Jika Anda tidak merasa bimbang
terhadap kebenaran informasi Konsul Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat
ke Aceh untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua
dan khianat itu.”
Kawat tersebut merupakan lampu hijau
bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon) untuk menggempur Aceh. Memang, inilah yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun
sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut politik non-intervention atau tidak
campur tangan.
Setelah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang
penjajah yang sangat bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Ia menanggapi hal itu
dengan mengatakan.
“Selama kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang
mengancam kita seperti pedang Democles.”
Pada 21 Februari 1873 Loudon
mengadakan rapat Dewan Hindia yang dihadiri juga oleh pemimpin-pernimpin
militer. Sehari kemudian ia mengirim telegram ke Den Haag, Belanda isinya:
“Dewan Hindia di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh jenderal dan
laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisi yang
didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum, adakala
pengakuan kedaulatan, adakala perang. Kita akan hadapi Amerika dengan fait accompli.
Presiden Nienwenhuijzen adalah orangnya.”
Hal inilah yang kemudian membuat
Belanda mengultimatum Aceh yang akhirnya membuat perang Aceh dengan Belanda
meletus. [Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh
dengan judul Gagalnya Perjanjian Aceh - Amerika. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://acehsky.blogspot.com/2012/08/gagalnya-perjanjian-aceh-amerika.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012