Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Dari Haagsche Boch ke Perang Aceh


Rumah Gubernur di Aceh tahun 1890
Aceh terikat kerja sama dengan Inggris, Belanda mencoba mempengaruhi Inggris untuk menguasai Aceh. Pers dimanfaatkan untuk mengatur siasat.

Pertengahan abad sembilan belas pers banyak mengkritik usaha perluasan kekuasaan Belanda di nusantara yang mengabaikan cara-cara beradab. Tinggal Aceh yang belum dikuasai.

harian Algemeen Dagblad van Nederland Indie, yang diasuh C Busken Huet sebagai redaktur kepala juga menyorot hal itu. Intinya Aceh harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi Belanda.


Busket Huet berangkat ke Batavia pada tahun 1866, setelah mengalami kesulitan dengan koran “De Gids”  yang terkenal di Belanda. Meski wartawan, ia memberi keyakinan kepada pemerintah Belanda, bahwa di daerah jajahan Belanda tidak perlu sama sekali kebebasan pers.

Menteri jajahan Belanda, JJ Hanselman yang menjabat 1867 sampai 1868 menggantikan De Waal, menyetujui hal itu. Malah ia berpendapat, pers di Betawi yang saat itu hanya ada tiga koran yang terbit dua minggu sekali, sedang mengalami kebebasan yang dinilai akan menggerogoti pemerintah Hindia Belanda.

Atas saran mantan gubernur jenderal, Rochussen Hasselman akhirnya Busker Huet dikirim ke Jawa untuk menjadi redaktur koran Java Bode. Tugas rahasianya, mengajukan usul-usul untuk melakukan reorganisasi pers.

Tulisan Huet yang pertama di Java Bode berjudul Wenschen entegenstrijdigheden (keinginan dan pertentangan) berisi anjuran diadakannya sensus pers secara preventif. 

Hal ini diungkap Paul Van T Veer  dalam buku Perang Belanda di Aceh. Ia menilai
sikap Huet sebagai pandangan aneh seorang wartawan. Huet juga pernah mengalami banyak kesulitan akibat  tulisannya di “De Gids” pada tahun 1865 yang berjudul “Een avond aan het Hof (semalam di istana)

Ketika diketahui bahwa Huet datang ke Betawi dengan memperoleh bantuan keuangan serta perintah rahasia pemerintah konservatif Belanda, maka secara terang-terangan misi itu digagalkan kelompok pemerintah liberal. Meski demikian Huet tetap manjadi redaktur kepala koran Java Bode sampai mendirikan korannya sendiri pada tahun 1872.

Dalam tulisan-tulisannya seperti Het land van Rembrandt (negeri Rembrad) dan Het land van Rubens (negeri Ruben) jelas sikap politik Huet yang mendukung penaklukan Aceh.

Sementara Paul Van T Veer menentang hal itu. Sikap yang sama juga disampaikan Multatuli. Pada Oktober 1872 ia menulis surat terbuka berjudul Brief aan den Koning (surat kepada raja).

Dalam suratnya Multatuli menulis, “Tuanku, Gubernur jenderal taunku dengan dalih yang dicari-cari sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini sedang memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih, tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.”

Multatuli menyatakan peran agen provokato yang ingin menaklukkan Aceh itu dimainkan oleh Sir Max Haveelaar yang saat itu berkuasa di Bogor. Usaha lain juga dilakukan melalui lobi politik. Pada akhir musim panas 1869, Menteri Jajahan Belanda, De Waal berjalan di Haagsche Boch, sebuah taman di kota Den Haag. Di sana ia bertemu Duta Besar Inggris, Harris. Lobi agar Ingris membatalkan perjanjian dengan Aceh dilakukan.

Atas permintaan itu, pada 9 Desember 1869 Harris menjawab penaklukan Aceh oleh Belanda akan disetujui bila mendatangkan keuntungan bagi perniagaan Inggris di selat Malaka.

Keinginan Belanda berkuasa di Aceh juga mendapat sorotan media di semenanjung melayu. Penang Gazette pada 10 November 1871 menulis. “Semakin cepat suatu kekuasaan Eropa mengintervensi Aceh, semakn cepat pula daerah-daerah yang terkenal subur untuk tanaman Timur berkembang dan jaya lagi dari keruntuhannya.”

Belanda Mengultimatum Aceh
Setelah berhasil meyakinan Inggris untuk membatalkan perjanjian dengan Kerajaan Aceh. Belanda pun melancarkan ultimatum. Perang pun dimulai.

Maklumat perang itu dinyatakan oleh Belanda pada Rabu 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah dari geladak kapal perang Citadel vab Antwerpen  yang berlabuh diantara Pulau Sabang dan daratan Aceh.

Pernyataan itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen. Sebulan kemudian Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue dibawah pimpinan Mayor Jenderal J H R Kohler.

Pada penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.

Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.

Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh disebutkan, armada Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputera, 3.198 pasukan yang 1098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.

Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan delapan orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda.

Pada penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri. Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.

Empat hari kemudian, 14 April 1873, Belanda kembali mencoba untuk menyerang Mesjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas ditangan pejuang Aceh. Tujuan Belanda untuk menguasai Dalam (Kraton-red) gagal total.

Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.

Dikecam dari Dalam
Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, Jenderal G.P Booms, sebagaimana ditulis dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete”  mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.

Dalam buku itu ia menulis, “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,...met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte...die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”

Artinya: telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit ..... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan.... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”

Dalam sidang Palemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda  memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte.” Artinya “Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan.”

Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh”  ia menulis.  “De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht”.

Artinya “Wanita Aceh  gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu meludahi muka si kaphe.”[Iskandar Norman]




Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh dengan judul Dari Haagsche Boch ke Perang Aceh. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/08/dari-haagsche-boch-ke-perang-aceh.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012