Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Ar Raniry di Taman Raja-raja

Syeikh Nuruddin Ar Raniry
Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam kitab Bustanussalatin. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.

Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda bustan itu Taman Ghairah.”

Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim Alfian.


Diceritakan, taman gunung (gunongan) di dalamnya sangat memukau. Taman itu sangat luas dan daliri oleh sungai Darul Isyki, kini dikenal sebagai Krueng Daroy. Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan buah. Di dalam taman juga terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari batu pualam warna-warni, serta tiang-tiang yang terbuat dari tembaga, perak, dan suasa yang berukir indah. Bangunan yang masih tersisa sampai sekarang adalah gunongan dan pinto khop.

Dikisahkan dalam Kitab Biustabussalatin, air sungai Darul Isylki sangat sejuk dan menyehatkan, bersumber dari mata air di bawah jabalul a’la di arah magrib. Sekarang dikenal sebagai tempat wisata pemandian Mata Ie.

Di pertengahan jalur sungai Darul Isyki ditemukan sebuah pulau kecil bernama Pulau Sangga Marmar, berlais batu dan dikelilingi karang aneka warna yang disebut Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah yang dinamai Rambut Kamalai.

Diceritakan pula berbagai jenis batu yang dipakai sebagai tarupan tanah dan lereng, serta tebing sungai, diselingi oleh taman bunga dan berbagai pohon yang berbuah. Oleh sultan Aceh, taman ini digelar Taman Ghairah.

Begitulah Nuruddin Ar Raniry menggambarkan keindahan dalam Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan saja karena aneka bangunan mungil yang sesak dengan berbagai material pembangunannya, tapi juga oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat keasrian taman sangat alami.

Dari Ranir ke Aceh
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry bernama lengkap Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia merupakan seorang sarjana India ber-kebangsaan Arab, lahir di daerah Ranir (sekarang Rander) suatu Bandar dekat Surat di Gujarat, India.

Ranir saat itu merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh berbagai bangsa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.

Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University, Belanda.

Kemudian ada lagi GWJ Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini kemudian diikuti oleh rekan sebangsanya CAO Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas tentang pertentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri yang menyebarkah faham Wujudiah.

Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry dihabiskan untuk mempelajari Islam di daerahnya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia berguru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan studi¬nya ke Tarim, Arab Selatan.

Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di Arab, ia terus memperdalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesem¬patan itu juga digunakannya untuk mempelajari bahasa Melayu. Setelah me¬mantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.

Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perdagangan dengan orang Islam, Portugis melakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.

Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di bidang perdagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih oleh mereka.

Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.

Tapi sebelumnya, pada masa pe¬merintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung Melayu.

Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.

Kitab-kitab tersebut kemudian diperbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.

Tapi tak mudah baginya untuk membawa faham Syafii ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah berkembang faham Wujudiah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin Ar-Raniry menentang keras faham Wujudiah kala itu. Menurutnya ajaran Hamzah Fansuri tersebut merupakan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Penentang Wujudiah
Ar Raniry dikenal sebagai penentang famam wujudiah selama menajdi mufti di kerajaan Aceh. berikut salah satu ulasannya tentang faham wujudiah dalam kitab Tabyan fi ma’rifat al-Adyan terhadap isi kitap Muntha karangan Hamzah Fansuri yang menyebarkan faham Wujudiah.

“…dan lalu pula katanya tamsil seperti matahari dengan cahaya, dengan panas, namanya tiga, rupanya tiga, hakikatnya satu jua. Maka I’tikad seperti ini adalah I’tikad Nasrani bahwa wujud (tuhan) tiga. Pertama wujud bapa, ke dua wujud ibu, ke tiga wujud anak… Jauhilah wahai semua (orang) yang beriman.”

Penetangannya terhadap wujudiah, juga dituangkan dalam kitab Ma’a al-Hayat Li al-Mamat. Kitab ini berisikan bantahan-bantahan terhadap ajaran wujudiah. Salah satu alasannya menentang ajaran wujudiah dalam kitab tersebut adalah tentang ke-esaan wujud Tuhan dengan wujud alam dan manusia.

Alasannya, jika benar Tuhan dan makhluk itu hakikatnya satu, maka semua makhluk ciptaan Allah adalah Allah. Hal ini menurutnya mengartikan bahwa apa yang dimakan, diminum, dan dibakar itu adalah Allah. Dengan demikian berarti semua perbuatan manusia dan makhluk lainnya, seperti membunuh dan mencuri adalah perbuatan Allah (Ahmad Daudi,1978).

Sikapnya yang menentang ajaran Wujudiah tersebut didukung oleh Raja Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Thani, sehingga tak lama kemudian dia pun diangkat menjadi Mufti kerajaan Aceh. Maka semakin mudahlah jalan baginya untuk melakukan pembaharuan di Aceh.

Berbagai kitab kemudian ditulisnya untuk mematahkan ajaran Wujudiah. Salah satunya dalam kitabnya Hujjah as-Siddiq Lidaf az-Zindik. Ia menulis:

Amat nyata kesalahan mereka itu, kare¬na ditamsilkan mereka itu hak (Allah) Ta’ala dengan makhluk, seperti matahari dengan pa¬nas yang hadith keduanya: maka dihu¬bung¬kannya mahkluk dengan hak (Allah) Ta’ala seperti perhubungan panas dengan matahari. Dan tiada sesuatu dari pada kedua¬nya berhubungan, maka misal yang demi¬kian itu muhal, sekali-kali tiada diperoleh pada hak (Allah) Ta’ala…”.(DR. T. Iskandar)

Pertentangan Syeikh Nurruddin Ar-Raniry dengan faham Wujudiah, semakin lama se-makin memuncak. Dan atas anjurannya kemudian Sultan Iskandar Thani memerin-tahkan untuk membakar semua kitab karangan Hamzah Fansuri dan Syeikh Shamsuddin Pasai, tentang wujudiah.

Setelah kitab-kitab itu dibakar, maka atas perintah Sultan Iskandar Thani kala itu, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry kemudian mengarang kitab Bustanus Salatin, kitab itu mulai ditulis pada tanggal 17 Syawal 1047 H.

Kitab tersebut merupakan karya Syeikh Nurruddin Ar-Raniry terbesar diantara sejumlah karya-karyanya. Dan merupakan karya terbesar pula yang pernah ditulis oleh pengarang-pengarang Melayu. Sampai sekarang kitab ini masih menjadi bahan kajian para sejarawan manca-negara.

Setelah berhasil memerangi faham wujudiah selama tujuh tahun di Aceh, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry pada tahun 1045 H, kembali ke kampung halamannya di Ranir. Sampai di sana ia mengarang kitab Rahik Al-Muhammadiyyah fi Tariq as-Sufiyah (Minuman bagi Umat Muhammad pada jalan tasawuf)

Tapi sebelum kitab itu rampung ditulisnya, ulama besar ini, yang telah membebaskan masyarakat Aceh dari pengaruh Wujudiah, meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H. kitab tersebut kemudian ditamatkan oleh Syeikh Salah ad-Din Ibrahim Ibnu Abdullah dengan jalan memasukkan khutbah ke dalamnya.[
Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Ar Raniry di Taman Raja-raja. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/07/ar-raniry-di-taman-raja-raja.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Rabu, 18 Juli 2012