Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Topeng Bisnis Investasi


Dalam berinvestasi, ada istilah high risk – high return atau semakin tinggi tingkat keuntungan yang akan diperoleh maka semakin tinggi pula risiko yang harus ditanggung, begitu pun sebaliknya low risk – low return.


Ungkapan itu bisa menjadi sinyal pula bagi para calon investor atau nasabah agar selalu cermat dan berhati-hati dalam menanamkan modalnya, jangan tergiur oleh suatu keuntungan yang sangat besar dalam tempo yang singkat, cepat dan sangat mudah.


Hal tersebut dinilai semakin relevan, terutama dengan masih banyaknya kasus penipuan yang berkedok pengelolaan dana investasi akhir-akhir ini. Beberapa kasus yang terjadi itu bisa jadi, merupakan suatu wujud ketidakpahaman masyarakat itu sendiri dalam berinvestasi secara wajar.

Selain itu mengindikasikan pula, bahwa masih banyak calon investor yang teledor dan tidak berhati-hati dalam memilih bentuk investasi, dan ia hanya berorientasi untuk mendapatkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dengan syarat yang mudah.

Menurut praktisi pasar modal/pasar uang, Dr. Tono Warsono, SE. MM, besarnya keuntungan bunga yang bisa diperoleh dari dana yang di investasikan, jelas sangat tidak rasional. Menyimpan dana di bank saja seperti bunga deposito sekarang ini rata-rata hanya 7% /tahun (untuk rupiah) dan rata-rata 4%/tahun (untuk mata uang dolar AS). Begitupun bunga obligasi seperti obligasi ritel negara (ORI) seri 002 hanya sebesar 9,28% pertahun.

Jika masyarakat akan melakukan investasi, tentu harus memerhatikan beberapa aspek penting. Antara lain mengenai legalitas perusahaanya, apakah ada ijin atau tidak dari Departermen Hukum dan HAM RI. Kemudian dalam melakukan jual beli produk investasi, harus mendapat ijin dari otoritas moneter dari Bank Indonesia (BI) untuk lembaga perbankan, izin dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) untuk Perusahaan Saham, dan ijin dari Departermen Keuangan untuk Perusahaan Keuangan (Finance) dan Lembaga Pembiayaan Keuangan ( Leasing ).

Dengan demikian, para calon investor berhak untuk menanyakan aspek legalitas tersebut di atas kepada perusahaan pengelola investasi yang bersangkutan. Selain itu pula, calon investor harus mengetahui sektor apa yang mendapat pembiayaan dari perusahaan penyertaan modal tersebut. Tidak kalah pentingnya, harus mengetahui juga tingkat kredibilitas para pengurus atau pengelolanya.

Saya sarankan, sebelum berinvestasi, masyarakat/calon investor seharusnya bertanya terlebih dahulu kepada ahlinya seperti manajer investasi dari institusi yang jelas dan resmi legalitas usahanya. Atau setidak-tidaknya, meminta penjelasan lansung kepada lembaga otoritas terkait seperti BI, Bepepam, Depkeu dan sebagainya. Karena, lembaga otoritas tersebut mempunyai kewajiban pula memberikan penjelasan kepada publik yang ingin berinvestasi.

Mengenai besarnya tingkat keuntungan yang ditawarkan. Tono menilai, “Calon investor harus mengetahui besarnya tingkat pengembalian. Jika sudah tergolong tidak wajar, tentu harus berhati-hati . Dengan keuntungan bunga sebesar 4% /bulan, atau dengan keuntungan bunga sebesar 2%/bulan (dalam bentuk dolar AS) misalnya, itu sudah tergolong tinggi dan merupakan suatu investasi yang tidak rasional,” tutur Branch Manager Rexaguna Securities ini.

Investasi yang wajar diantaranya bisa terlihat dari return (tingkat pengembalian) yang normal. Artinya, tingkat pengembalian yang tidak jauh dengan tingkat pengembalian di perbankan. Diakui, perbankan bisa dijadikan bahan acuan. Karena, bank adalah merupakan suatu lembaga resmi yang tingkat pengembalian investasinya wajar.

Selain perbankan, kita pun bisa membandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tercatat pada pasar modal, misalnya perusahaan yang sudah dan mendapat izin dari Bapepam. Begitu pula dengan produk-produk hedging yang diperjualbelikan di BBJ (Bursa Berjangka Jakarta), mendapat ijin dari Departermen Perdagangan. Hedging ini, diantaranya terkait dengan perdagangan ekspor-impor.

Tono mengakui, masih banyaknya terjadi kasus-kasus penipuan dalam pengelolaan dana investasi ini terutama karena masyarakat (calon investor) yang mudah tergiur dengan iming-iming akan mendapat keuntungan besar dari modal yang mereka simpan. ”Masyarakat haru hati-hati. Karena bagaimanapun, setiap akan berinvestasi harus melihat resikonya pula. Kalaupun dana yang terkumpul itu disalurkan, sektor riil/usaha mana yang mampu menanggung beban (bunga) sebesar itu,” ujarnya.

Misal, pada kasus penipuan yang menimpa para peserta Interbangking Bisnis Terencana (Ibist) Consult belum lama ini, sistem usaha perusahaan tersebut tidak berbeda dengan “sistem arisan”. Biasanya, yang mendapat keuntungan adalah peserta yang masuk pertama atau lebih dahulu. Sedangkan peserta yang masuk belakangan, tidak akan mendapat keuntungan karena modalnya sudah habis.

Fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, tapi selalu saja terulang. Gampangnya masyarakat tergiur mendapat keuntungan dengan cara mudah dan cepat menjadi salah satu pemicu utama. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam menanamkan dana kita jangan sampai terjerumus dan terjerat oleh rayuan maut para “ Topeng Bisnis Investasi “ yang tidak bertanggung jawab.

Dana Nasabah Sulit Untuk Kembali


Setelah penipuan bermodus investasi banyak terkuak, maka kini banyak masyarakat yang mulai berhati-hati dalam menyikapi Bisnis Investasi ini. Namun, dasar penipu banyak akalnya, ada saja celah untuk meraup uang dari masyarakat demi kepentingan pribadi dan golonganya itu.

Salah satu “Topeng Bisnis Investasi “ yang terungkap dan mencuat pada tahun 2006 ialah kasus PT Interbanking Bisnis Terencana (Ibist) Consult Di Jln. Mulyasari I No. 01 Kota Bandung. Ibist didirikan pada tahun 2000 silam di Bandung oleh tiga pentolan yang semuanya kini telah meringkuk di sel tahanan. Mereka adalah Direktur Keuangan Fero Septa Yudha (ditangkap 09 Nopember 2006 di Bandung), Direktur Utama Agus Muhamad Ali (ditangkap 23 Januari 2007 di Bnadung), keduanya telah dijatuhi pidana penjara, dan Presiden Direktur Wandi Sofian (ditangkap 20 Mei 2007 di Tasikmalaya-Jawa Barat ), masih dalam proses.

Awalnya, PT Ibist bergerak di bidang simpan pinjam uang. Kemudian melebarkan sayapnya di bidang investasi berbagai bidang usaha. Nasabahnya tercatat lebih dari 4.000 orang dengan uang yang beredar mencapai Rp. 40 milyar lebih. Iming-imingnya sama saja, yaitu para nasabah dijanjikan memperoleh tambahan uang ke rekeningnya setiap bulan. Besarnya antara 4-6 % per bulan dari jumlah dana yang disetorkan ke PT Ibist.

Bagi mereka yang berpikiran sempit plus tamak, sudah barang tentu hal seperti tersebut di atas itu sangatlah menggiurkan. Kita ambil hitungan secara kasar. Jika kita menyetor dana sebesar Rp. 20 juta, maka kita tiap bulan akan mendapat keuntungan uang sebesar Rp 800 ribu. Jika dihitung dalam satu tahun, kita akan mendapat keuntungan uang sebesar Rp 9,6 juta. Artinya, dalam waktu kurang dari tiga tahun, kita sudah kembali modal dan memperoleh uang lebih.

Yang menjadi nasabah PT Ibist ini ternyata tidak hanya dari warga kalangan sipil saja, tapi banyak pula dari kalangan TNI dan Polri, mulai dari pangkat perwira hingga jendral berbintang, yang notabene orang-orang intelektual yang mengerti dan melek hukum. Mereka tergiur oleh keuntungan besar dengan cara cepat dan mudah, sehingga hal itu membuat para anggota TNI dan Polri sangat percaya bahwa PT Ibist itu tidak berbohong. Karenanya, tidak salah juga adanya suatu “ Anekdot “ salah seorang korban dari kalangan TNI yang mengatakan, bahwa di mana ada Kodam dan Polda, maka di sana ada korban dan PT Ibist.

Tidak berapa lama berselang setelah PT Ibist terbongkar, muncul lagi bisnis penipuan serupa yang terungkap topengnya, yaitu PT Sarana Perdana Indoglobal ( PT. SPI ). Meskipun korbannya hanya ratusan orang nasabah, namun uang yang berhasil digaruk dari para nasabahnya itu hampir mencapai lebih dari Rp. 100 milyar. Kini empat orang pimpinan PT SPI tersebut telah ditangkap oleh Polresta Bandung Barat. Dari sejumlah kasus tersebut di atas, tidak ada satu pun yang berhasil untuk mengembalikan seluruh dana milik nasabah.

PT Ibist lebih ironis lagi. Dari Rp. 40 miliar uang milik nasabah, yang tersisa dalam rekening para pelaku (Wandi, Ali, dan Fero), tidak lebih dari Rp 70 juta. Sementara aset-aset yang di amankan oleh polisi seperti 5 mobil mewah dan rumah, ternyata hanya sewaan. Lalu lari kemana uang ratusan miliar para nasabah itu? Para pelaku tetap tidak mau mengungkapkan uang itu habis untuk apa. Mereka hanya mengatakan, uang itu dipakai untuk investasi ke beberapa sektor industri. Namun, sektor indrusti itu bangkrut sehingga uang tidak kembali. Kalau sudah begini, pertanyaannya, siapa yang rugi ?

Penulis sangat heran meski sudah banyak contohnya, namun masih tetap saja banyak masyarakat yang terperosok ke dalam lubang yang sama, yaitu tertipu di bisnis investasi hanya untuk mengejar mimpi. Namun demikian, beberapa warga yang telah tertipu, bersikukuh bahwa mereka tidak salah. Yudi Nugraha misalnya, pengusaha besi asal Tanjungkarang-Lampung itu mengaku kehilangan Rp 60 juta miliknya di PT Ibist. Ia menyalahkan pemerintah (Depkeu – red ), karena “ Seharusnya ada kontrol dari pemerintah, kenapa usaha bisnis investasi seperti itu masih bisa ditolerir dan berjalan terus. Memangnya tidak ada lembaga di pemerintahan yang mengontrol perusahaan-perusahaan seperti Ibist dan lainnya, “ ujarnya berapi-api. Kesimpulannya, kehati-hatian dan kewaspadaan kita terhadap bisnis seperti ini menjadi suatu modal utama jika kita tidak mau rugi. Wallohu’alam.[Goenawan Wanaradja, SH/pm]

Goenawan Wanaradja, SH adalah Hakim Peradilan Umum RI, pernah bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bisnis dengan judul Topeng Bisnis Investasi. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/06/topeng-bisnis-investasi-oleh-goenawan.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Selasa, 26 Juni 2012