Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Cangkang dan Etos Politik

Memberi uang dan kekuasaan kepada pemerintah, sama halnya dengan memberi wiski dan kunci mobil pada seorang remaja. Apa yang dikatakan oleh PJ O Rourke tersebut dalam Parliament of Whores, sedang terjadi di Aceh.

Konflik seputar Pemilihan Umum Kepala Derah (Pemilukada) Aceh beberapa waktui lalu sempat menyeret eksekutif dan legislatif Aceh berada pada sengketa politik yang “memuakkan”. Dibutuhkan etos politik keacehan untuk menyelesaikannya. Berbagai kepentingan ikut bermain dalam konflik ini, yang kemudian menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh keduanya (eksekutif dan legislatif) lebih kental nuansa politisnya tinimbang menyahuti keinginan rakyat banyak.


Hal ini selaras betul dengan apa yang disampaikan oleh Peter L Berge pada tahun 1974, yang mengatakan bahwa kebijaksanaan politik tidak dibuat dengan memahami akar masalah yang sesungguhnya, lantaran para pengambil kebijakan memang tidak memahami sosiologi masalah, yakni peta-peta sosial di seputar masalah. Di Aceh lebih dari itu, lebih kepada kepentingan kelompok dengan egonya masing-masing.


Eep Saefulloh Fatah pun kemudian menyebutkan hal itu sebagai bentuk ketidakpahaman pada sosiologi masalah. Hal itulah yang kemudian membuat masalah dan pemecah masalah menjadi dua hal yang berjauhan, bahkan tak berkaitan sama sekali.


Kalau memang kepentingan rakyat yang didahulukan, maka tak perlu ada sengketa Pemilukada, kedua pihak harus bersikap arif untuk menyimpan ego kelompok dan mendahulukan kepentingan rakyat. Apapun ceritanya, kedamaian Aceh masih sangat berharga untuk dikacaukan dengan politik praktis jelang Pemilukada.


Kisruh Pemilukada di Aceh ini tidak lepas dari berbagai kekeliruan para penguasa yang mengambil kebijaksanaan tanpa mengerti sepenuhnya permasalahan yang dihadapi. Inilah yang oleh Robert Barn dikatakan sebagai gagasan bodoh. Penyair Scotlandia yang hidup pada abat 18 tersebut (1759-1796) dalam puisinya berjudul “To a Louse” menulis, “O wat some powr’r the giftie gleus, to see oursels as other seeus! It wat frae many a blunder freeus, and foolish nation.”


Katanya, jika kita bisa melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita. Kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan-gagasan bodoh. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus mampu melihat kemampuan diri sendiri sebagai suatu entitas bangsa, dan mengaplikasikan kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan rakyat yang dimaksud dalam kebijakannya itu.


Kita tentu mengharapkan agar eksekutif dan legislatif Aceh bisa bersikap dewasa, bukan malah terus larus dalam sengketa tak berujung. Pun demikian, mempertemukan sepenuhnya keinginan dua pihak yang sedang bersengketa tidaklah mudah. Selain banyak hal yang menjadi pertimbangan, berbagai kepentingan pun turut bermain. Tapi lupakan itu. Satu hal yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana membangkitkan etos politik keacehan, yang benar-benar memikirkan kepentingan jangka panjang untuk Aceh.


Etos kadang juga muncul dari mitos. Lihatlah, bagaimana Yahudi membangun jaringannya dalam perpolitikan dunia dengan lima kata yang menjadi etos politik mereka. Orang-orang Yahudi berpegang pada kalimat we are the chosen people, dari sinilah etos politik mereka bangkit, karena menganggap dirinya sebagai orang-orang pilihan. Mereka menyatu dalam mitos itu untuk kepentingan politiknya.


Hal yang sama juga berlaku di Jerman. Mereka mengatakan Deutc uberaless, ras Aria (rasnya bangsa Jerman) adalah ras tertinggi. Amerika lain lagi, mereka menganut etos nasionalisme yang sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan negara tersebut menjadi adi daya. Falsafah mereka dalam membangun Amerika adalah, We keep America on top of the word.


Aceh juga memiliki banyak falsafah yang menjadi etos politik pemerintahan sejak zaman dahulu. Melalui kearifan hadih maja kita diajarkan untuk bisa bersikap yang patut dalam segala hal, termasuk dalam menyelesaikan sengketa, sangsui beuneuéng tawoë bak pruét, karu buét tawoë bak punca. Untuk menyelesaikan konflik regulasi Pemilukada ini, baik eksekutif maupun legislatif harus sama-sama kembali ke induk persoalan untuk mencari penyelesaiannya secara terhormat.


Kedua pihak harus sama-sama bisa mundur selangkah agar mencapai titik temu, suröt lhèi langkah tasuét tupi, mangat geuturi ngat samporeuna. Kalau itu dilakukan, maka tak ada pihak yang kalah dan menang, sama-sama sejajar bahu di dalamnya, ibarat kata tamsè tumpoë ngon bulukat, miseuè meuseukat ngôn asoë kaya, serasi tak bisa dipisahkan.


Namun, untuk menuju ke sana, baik elsekutif maupun legislatif Aceh harus bercermin dulu melihat diri sendiri, tidak di kaca yang retak, agar tidak terjebak pada “pendewaan” kekuasaan. Meski berat itu harus dilakukan demi kelangsungan perdamaian. Walaupun susah untuk melepaskan kekuasaan yang sudah di tangan, karena kata Milan Kudera, penulis besar Cheko dalam novelnya, “The Book of Lougther abd Forgetting” melalui tokoh Mirek ia berkata. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawean lupa.”


Malah Jhon Adam, Presiden kedua Amerika berpendapat lebih radikal lagi. Katanya, semua manusia adalah monster yang serakah ketika nafsu gagal dijaga. Pun demikian, mari sama-sama merawat damai Aceh ini dengan tindakan nyata, jangan pasif dan terlena dalam kepentingan sesaat. Publikis Syrus pernah berkata agar kita jangan menggatungkan diri pada keberuntungan, melainkan pada tindakan.


Kemudian, mari sama-sama kita berbuat, sambil menghayati apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Hatta. “Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku, ia berkembang dengan amal, dan itu adalah amalku.” Mari membangun Aceh dengan amal. Kalau eksekutif dan legislatif Aceh tidak mau melakukan itu, maka saya hanya bisa berkata, umông meuateuéng nanggroë meusyaraq, pakôn buét sinyak meubeualaga?

Cangkang Politik

Cangkang politik yang dibangun Partai Aceh telah mampu memenangkan partai tersebut pada pemilihan legislatif 2009 lalu. Kini cangkang yang sama akan digunakan pada pemilihan kepala pemerintahan Aceh akhir 2012. Meski sudah agak retak.


Cangkang itu adalah para mantan kombatan di setiap daerah, yang jaringannya sampai ke desa-desa terpencil. Mereka yang dibangun dengan organisasi yang rapi semasa konflik, mampu memobilisasi dan mengarahkan suara pemilih di daerah-daerah. Merekalah yang membungkus kepentingan organisasi dengan idealisme dan ideologi gerakannya.


Namun tak selamanya cangkang itu memberi hasil yang diharapkan partai. Apalagi ketika muncul keretakan dalam hal dukung mendukung kandidat gubernur pada pemilukada yang akan datang. Mereka terpecahkan antara yang pro dengan mualim dalam hal ini pasangan Zaini Abdullah dengan Muzakkir Manaf, dan yang pro pada Irwandi Yusuf.


Irwandi Yusuf masih punya pengaruh dan potensi untuk memecahkan cangkang yang retak tersebut. Apalagi selama ini, dengan kekuasaannya sebagai gubernur, banyak diantara cangkang-cangkang itu yang memperoleh keuntungan ekonomi melalui berbagai proyek.


Meski demikian, politik bukanlah ilmu pasti, segala sesuatu bisa saja berubah secara tiba-tiba. Dan cangkang dalam tulisan ini hanya sebuah perumpamaan dari realita yang terjadi dewasa ini. Mengutip apa yang disebutkan Robert Greene dalam The 48 Law of Power, pada hukum ke-48 disebutkan, politik yang menggunakan cangkang sebagai pelindung akan selalu menyebabkan bencana. Cangkang sering menjadi jalan buntu bagi yang bersembunyi di dalamnya. Cangkang akan memperlambat langkah dan sulit untuk bergerak.


Politik cangkang merupakan sistem yang kaku yang dikembangkan untuk melindungi diri, suatu hari nanti akan menjadi penyebab kekalahan. Apalagi bila cangkang itu benar-benar pecah. Kenyataannya dewasa ini para mantan kombatan di lapangan sebagai cangkang politiknya Partai Aceh, sudah mulai retak.


Keretakan bukan hanya dalam urusan politik semata, tapi dalam hal ekonomi juga, semisal perebutan berbagai proyek pemerintah. Hal inilah yang membuat cangkang politik Partai Aceh lalai dalam pengejaran kepuasan ekonomi sesaat, hingga lupa pada tujuan perjuangannya semula.


Penghancuran cangkang melalui pemenuhan hasrat politik dan ekonomi ini akan terus dimainkan oleh pihak lain sebagai lawan politik untuk merebut dukungan massa pada pemilihan nanti. Pihak lain akan menggunakan kekutan uang yang dinamis. Mereka akan meraup keuntungan dari lambannya gerak politik cangkang.


Sejarah politik cangkang dalam politik dunia berabad-abad silam pernah dilakoni Bangsa Athena ketika meruntukan kekuasaan Sparta pada tahun 431 sebelum masehi. Bangsa Sparta mampu mendidik tentara infantri terkuat di masa itu. Mereka mempunyai keberanian yang tak tertandingi waktu itu, mereka mampu mengalahkan pasukan lawan yang jumlahnya berkali lipat dari jumlah mereka, seperti ketika mengalahkan pasukan Persia di Thermopylae. Jika lawan melihat pasukan Sparta, mereka pasti ngeri, seolah-olah tak ada kelemahan dari pasukan ini.


Patai Aceh dulu juga memiliki kombatan yang tangguh, yang mampu melawan Jakarta dalam konflik tiga dekade. Karena itu GAM waktu itu menjadi kekuatan yang diperhitungkan dengan Teuntara Nanggroe Aceh (TNA) sebagai cangkangnya. Tak ada sebuah pemberontakan daerah di Indonesia yang mampu membawa negara untuk berdialog di luar negeri, tapi GAM dengan cangkangnya mampu melakukan itu.


Pertanyaanya sekarang, bagaimana dengan keberadaan cangkang itu? Jakarta memang luluh dan turut ketika dibawa ke meja perundingan di luar negeri. Tapi setelah itu, dengan kekuatan politik dan uang, cangkang itu dibuat retak. Jakarta malakukan pembiaran perebutan lahan antar cangkang-cangkang politik GAM. Yang dengan itu pengaruh cangkang tersebut dalam masyarakat Aceh sedikit demi sedikit memudar. Itulah kemenangan Jakarta dari politik pemecahan cangkang.


Sudah saatnya politik cangkang ditinggalkan, karena ia tidak mampu bertahan lama. Ia akan selalu hancur dalam godaan ekonomi. Sparta telah mengalami itu di Athena. Sparta pata tahun 431 sebelum masehi memang mampu menaklukkan Athena dengan pasukan terbaiknya. Tapi, pasukan terbaik di dunia yang dijadikan cangkan politik Sparta itu, tak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, sehingga ketika Athena yang kaya raya direbut, mereka sibuk dengan harta yang melimpah. Dan dari sinilah mereka runtuh sehingga Athena mampu mengalahkan Sprata kembali.


Aceh hari ini juga mengalami hal yang sama. Para panglima yang dulu garang memimpin kombatan di berbagai wilayah, kini lelap dalam gelimangan harta, malah ada kombatan yang terabaikan. Mereka sibuk dengan proyek, melupakan pasukan lama. Inilah awal dari kekalahan sebuah ideologi. Cangkan retak itu akan dihancurkan lawan.[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Politik dengan judul Cangkang dan Etos Politik. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/06/cangkang-dan-etos-politik-oleh-iskandar.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Selasa, 26 Juni 2012