Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Cut Nyak Meutia (II) Perempuan yang Dipuja Belanda


Cut Nyak Meutia
H C Zentgraaff penulis berkebangsaan Belanda sangat mengagumi perempuan Aceh dalam  tulisannya tentang perang Aceh. Cut Nyak Meutia salah satu dari sekian banyak wanita yang dipuja dalam bukunya.

H C Zentgraaff merupakan mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan. Terakhir menjabat sebagai redaktur di surat kabar  Java Bode. Tulisan-tulisannya di surat kabar tersebut kerap “menyerang” pemerintah kolonial Belanda. Ia mengkritik kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh pasukan marsose.


Tulisan-tulisannya tentang perang di Aceh kemudian dibukukan dalam buku “Aceh” terakhir diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1982/1983, yang diterjemahkan dari buku aslinya “Atjeh” oleh Firdaus Burhan. Dalam buku itu Zentgraaf mengungkapkan kekagumannya kepada wanita Aceh yang tidak hanya menjadi pendorong bagi suaminya dalam berperang melawan Belanda, tapi juga ikut terjun dalam garis depan peperangan. Ia menulis:

“...Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukan sebagai lelaki yang lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka. Mereka menerima hak azasinya di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan. Mereka berjuang bersama-sama suaminya, kadang-kadang di sampingnya atau di depannya, dan dalam tangan yang mungil itu, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya. Wanita Aceh berperang di jalan Allah, mereka menolak segala macam kompromi...”

Bahkan lebih lanjut Zentgraaff mengungkapkan, sebagaimana dikutip kembali oleh Nasruddin Sulaiman dalam Wanita-wanita Utana Nusantara dalam Lintasan Sejarah, bukan suatu kemustahilan bila ada perempuan Aceh yang tidak mau lagi mengakui suaminya karena telah melapor diri (menyerah) kepada Belanda, apalagi kalau suami mereka telah bekerja sama dengan Belanda.

Zentgraaf mengungkapkan, Cut Nyak Meutia merupakan salah satu di antara banyak perempuan Aceh yang bersikap seperti itu, yang berjuang melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Cut Nyak Meutia lahir di daerah Uleebalang Keureutoe pada tahun 1870. Zentgraaf mengambarkannya sebagai perempuan dengan paras cantik, ia menulis, “Pada umurnya yang menanjak dewasa parasnya yang cantik semakin tampak dan sesuai benar dengan namanya, Meutia yang berarti mutiara. Sesungguhnya ia sebutir mutiara di antara kaum wanita. Meutia tidak hanya berwajah cantik, melainkan juga seorang tokoh pemberani dan agung.”

Cut Nyak Meutia adalah putri dari Teuku Ben Daud, uleebalang Pirak yang masuk dalam wilayah Keureutoe. Ibu Cut Nyak Meutia bernama Cut Jah putri dari Ben Seuleumak. Ibu Cut Nyak Meutia juga dipanggil Cut Mulieng karena berasal dari Gampong Mulieng. Dari kedua orang tuanya itu, Cut Nyak Meutia mempunyai empat orang saudara laki-laki, yaitu Teuku Cut Brahim, Teuku Cut Hasan, Teuku Cut Muhammad Syah dan Teuku Cut Muhammad Ali.

Masa kecil Cut Nyak Meutia hidup dalam didikan agama yang diajarkan oleh para ulama yang didatangkan oleh ayahnya sebagai tenaga pengajar, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh keluarga uleebalang di Aceh. Hal itu membuat Cut Nyak Meutia menjadi pribadi yang taat dan teguh memegang prinsip. Ia rela berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan dan nyawanya untuk membela agama dan bangsanya.

Hal itu dibuktikannya ketika ia dengan suka rela meninggalkan kesenangan dan kemewahan hidupnya sebagai seorang istri uleebalang, begitu mengetahui suaminya menjalin kerja sama dengan Belanda. Setelah suaminya bersedia menandatangani korte verklaring yang diajukan Belanda, Cut Nyak Meutia memilih berpisah dengan suaminya dan mengembara untuk berjuang melawan penjajahan Belanda.

Untuk  melawan Belanda, rakyat Keuretoe dan Pirak dipersiapkan melalui pendidikam di dayah-dayah. Di Keuereutoe saat itu terdapat sebuah dayah yang sangat terkenal yakni Dayah Teungku Beuringen.

Ayah Cut Nyak Meutia, Teuku Ben Daud terus menggalakkan peperangan untuk melawan Belanda. Ia merupakan pengikut setia Sulthan Aceh, Muhammad Daud Syah, yang saat itu sudah memindahkan pusat pemerintahan dan pertahanan ke Keumala, Pidie. Bantuan yang diberikan Teuku Ben Daud kepada sulthan semakin besar ketika sebagian Aceh Utara sudah dikuasai Belanda. Ia mengkoordinasi rakyatnya untuk mengumpulkan perbekalan serta membentuk angkatan perang.

Teuku Ben Daud yang dibantu oleh anak-anaknya, para ulama dan pengikutnya, tetap menolak untuk bekerja sama dengan Belanda. Ia tidak bersedia menandatangani Korte Verklaring  yang ditawarkn Belanda meskipun beberapa uleebalang yang ada disekitarnya sudah melakukannya. Maka perang pun berlanjut dan Belanda akhirnya bisa menuasai darah kekuasaan Teuku Ben Daud.

Meski daerah kekuasaannya telah dikuasai Belanda, Teuku Ben Daud terus melakukan perlawanan. Ia mengundurkan diri ke daerah hulu Krueng Jambo Aye, dari sana ia terus mengkoordinir pasukannya untuk menyerang Belanda, hingga ia syahid di sana. Sejak tahun 1905, daerah itu pula yang digunakan Cut Nyak Meutia sebagai pusat pertahanan.

Dipinang
Sebagai gadis dari keturunan uleebalang, yang cantik dan taat beragaman, Cut Nyak Meutia menarik perhatian banyak lelaki. Banyak pinangan yang datang, tapi Teuku Ben Daud tidak mengambil keputusan sendiri, hal itu selalu ditanyakan kepada Cut Nyak Meutia.

Dari sekian banyak pinangan yang datang, hanya pinangan dari Cut Nyak Asia yang diterima. Cut Nak Asia waktu ittu ingin menikahkan puteranya, Teuku Syamsarif dengan Cut Nyak Meutia. Begitu menerima lamaran itu, Teuku Ben daud langsung melakukan musyawarah keluarga. Hasilnya diputuskan kesepkatan untuk menerima pinangan tersebut.

Perkawinan Cut Nyak Meutia dengan Teuku Syamsyarif terjadi pada tahun 1890. Setelah menikah, Cut Nyak Meutia menetap di Keureutoe bersama suaminya. Di Keureutoe Cut Nyak Meutia memulai hidup baru dengan wilayah kekuasaan yang melebihi daerah keuleebalangan Pirak. Sejak menikah dengan Teuku Syamsyarif, nama Cut Meutia mendapat tambahan gelar Nyak, sehingga menjadi Cut Nyak Meutia.

Masa awal kehidupan rumah tangganya dengan Teuku Syamsyarif di Keureutoe dilalui dengan biasa-biasa saja. Cut Nyak Meutia menjalankan kehidupannya sebagai orang yang taat beragama, yang tidak mengharapkan kemewahan. Ia tetap memendam permusuhan terhadap Belanda yang mulai menguasai sebagai daerah Aceh Utara. Kepribadian Cut Nyak Meutia yang seperti itu tidak dapat diubah oleh siapapun, bahkan oleh suaminya sendiri.

Sikapnya yang menentang Belanda sangat bertolak belakang dengan sikap suaminya yang senang pada kedudukan dan kemewahan. Malah untuk memenuhi semua itu ia bersedia bekerja sama dengan Belanda, sehingga ia mendapat kehormatan dan kedudukan dengan berbagai fasilitas dari Belanda. Hal inilah yang membuat Cut Nyak Meutia tidak dapat mempertahankan kehidupan rumah tangganya.

Cut Nyak Meutia menunjukkan sikap tidak senangnya ketika semakin hari suaminya semakin dekat dengan Belanda. Ia berusaha merubah sikap suaminya itu untuk tidak tunduk kepada Belanda, tapi gagal. Malah Teuku Syansyarif karena kedekatannya dengan Belanda kemudian mendapatkan anugrah dari Van Huestz sebagai uleebalang Keureutoe menggantikan  ibunya Cut Nyak Asiah.

Tentang hal itu diungkapkan M.H. Du Croo dalam buku “General Swart Pacifikator van Atjeh” terbitn 1943. Pengangkatan Teuku Syamsarif sebagai uleebalang Keureutoe sangat melukai hati Cut Nyak Meutia. Padahal jauh sebelumnya, Sultah Aceh Muhammad Daud Syah telah mengangkat Teuku Cut Muhammad, adiknya Teuku Syamsyarif sebagai uleebalang melalui sarakata  sultan lengkap dengan stempel kerajaan.

Sulthan mengangkat Teuku Cut Muhammad sebagai uleebalang, karena ia merupakan figur yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat. Upaya Belanda mengangkat Teuku Syamsyarif sebagai uleebalang dinilia sebagai bagian dari politik untuk memecah belah rakyat Keureutoe. Kedekatan Teuku Syamsyarif dengan Belanda juga bertujuan untuk merebut kekuasaan adiknya sebagao uleebalang dengan banuan Belanda.

Karena itu di Keureutoe wakti itu terdapat dua uleebalang, yang satu Teuku Cut Muhammad yang digelari Tuuku Chik Tunong karena berkedudukan di Tunong (utara), satu lagi Teuku Syamsyarif yang digelari Teuku Chik di Baroh karena wilayah kekuasaannya ada diBaroh (utara), yang satu diangkat oleh sulthan satunya lagi oleh Belanda.

Teuku Cut Muhammad uleebalang yang diangkat oleh sulthan merupakan tokoh yang kuat kepribadiannya, yang berperang bersama rakyat melawan Belanda.  Ia mempunyai pengaruh yang luas sampai ke luar wilayah kekuasaannya. Sebaliknya Teuku Syamsyarif yang diangkat oleh Belanda merupakan tokoh yang lamban yang tidak didengar perintahnya oleh rakyat Keuretoe.

Dalam keadaan seperti itu, Cut Nyak Meutia berontak pada suaminya, ia teringat pada ayah dan keluarganya yang giat berjuang melawan Belanda. Ia sama sekali tidak senang dengan sikap suaminya yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. Perubahan sikap Cut Nyak Meutia itu dirasakan oleh suaminya, Tetapi Teuku Syamsyarif tidak mengetahui penyebabnya.

Suatu malam setelah shalat magrib, Teuku Syamsyarif bertanya pada Cut Nyak Meutia tentang perubahan sikapnya tersebut. Terhadap pertanyaan itu Cut Nyak Meutia menjawab bahwa secara tidak langsung suaminya itu sudah mengetahuinya. Tapi Teuku Syamsyarif mengatakan tidak mengetahuinya, hingga ia kemudian berkata bahwa bukankah setiap wanita menginginkan kedudukan yang tinggi dengan kemewahan hidup. Terhadap pernyataan suaminya itu, Cut Nyak Meutia menjawab bahwa suaminya itu tidak memiliki derajat tinggi tapi ditinggikan oleh Belanda. Ia meminta kepada suamninya itu agar diceraikan dan dikembalikan kepada ayahnya di Pirak.

Mendengar permintaan itu, Teuku Syamsyarif terkejut. Ia sama sekali tidak menduga Cut Nyak Meutia akan meminta seperti itu. Ia berusaha membujuk Cut Nyak Meutia agar tidak meminta cerai. Mereka bedua kemudian melaksnakan shalat isya berjamaah yang diimami oleh Teuku Syamsyarif, seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara keduanya.

Jauh sebelum permintaan cerai itu disampaikan oleh Cut Nyak Meutia, ia sudah berulang kali menyampaikan kepada suaminya bahwa tempatnya bukan di Keureutoe, bukan dalam genggaman Belanda, tapi di tanah merdeka. Ia ingin bergabung dengan ayah dan  saudara-saudaranya yang masih berjuang melawan Belanda.

Terhadap prinsip Cut Nyak Meutia itu Zentgraaff menulis: “Wanita semacam ini bukanlah pasangan Teuku Bentara (Syamsyarif) yang lamban itu, tidak pula cocok sebagai pasangan untuk mengabdi pada kompeni. Dia seorang putri bangsawan, hati dan jiwanya tertambat kepada kaum yang pantang menyerah, kaum yang berada di daerah pegunungan, yaitu para pejuang yang memilih jalan Allah. Di sanalah seharusnya cut Nyak Meutia berada dan terbebas dari kaphe (Belanda).”

Cut Nyak Meutia kemudian meninggalkan Keureuto kembali ke Pirak ke tempat ayahnya, Teuku Syamsyarif tidak pernah menjenguknya, dan bahkan tidak pernah mengirim nafkah. Ia pernah meminta kepad ayah Cut Nyak Meutia, Teuku Ben Daud agar Cut Nyak Meutia diantar kembali ke Keureutoe, ayah Cut Nyak Meutia tidak menolaknya, tapi ia meminta agar Teuku Syamsyarif menjemputnya sendiri kalau masih merasa membutuhkan istrinya. Hal itu tidak dilakukan Teuku Syamsyarif karena antara dirinya dan Cut Nyak Meutia sudah sangat jauh berbeda prinsip.

Karena tidak dijemput dan menafkahi istrinya sampai beberapa lama, maka Teuku Syamsyarif dinyatakan dipasah (diceraikan) dari istrinya. Setelah bercerai, Cut Nyak Meutia terbebas dari penderitaan batin. Ia kemudian menyatakan keinginannya pada ayahnya untuk ikut berperang melawan Belanda. Tapi keinginan itu tidak dikabulkan oleh ayahnya karena Cut Nyak Meutia baru menjadi janda.[Iskandar Norman]


Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh dengan judul Cut Nyak Meutia (II) Perempuan yang Dipuja Belanda. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/08/cut-nyak-meutia-ii-perempuan-yang.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012