Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

De Jong Atjeher

Bagi sejarawan Aceh, H M Zainuddin sering menajdi rujukan. Karya-karyanya sampai kini masih jadi referensi. Namun siapa sangka ternyata dia awalnya sarjana pertanian, ahli perbankan, bisnisman dan wartawan yang menggunakan nama pena De Jong Atjeher.

Keberadaan H M Zainuddin sebagai penulis buku-buku sejarah Aceh tidak diragukan lagi. Berbagai karangannya tentang sejarah Aceh, kini menjadi rujukan dan referensi bagi generasi setelahnya. Tulisan singkat ini mencoba mengungkap kembali siapa sebenarnya De Jong Atjeher itu.

H M Zainuddin merupakan putra dari H Abu Bakar, seorang pedagang hasil bumi yang sering meekspor barang dagangannya ke luar negeri. Ia sering ikut berlayar membawa barang dagangannya berlayar ke Sailon, Kalkuta dan Penang dengan menggunakan kapal sendiri.



Dalam riwayat singkat di halaman akhir buku “Singa Atjeh” yang berisi boigrafi Sulthan Iskandar Muda, ia mengugkap sedikit perjalanan hidupnya hingga menjadi sejarawan. Ia lahir pada 15 Muharram 1310 Hijriah, bertepatan dengan 10 Mei 1983di Keude Ndjong, Kewedanan Sigli, kini menjadi Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya.

Pendidikan pertama diperolehnya di Inl School Sigli. Tamat sekolah tersebut ia dikirim oleh ayahnya ke Pulau Pinang, Malaysia untuk berdagang. Di sana ia menjadi anak muda yang serba kecukupan dengan penghasilan dari bisnis dagangnya. Dari usahanya itu pula ia kemudian bisa menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1913.

Usai menunaikan ibadah haji ia kembali ke Sigli pada Januari 1914, sementara usahanya di Pulau Pinang dilanjutkan oleh orang kepercayaannya. Kembalinya ia ke Sigli kala itu karena Pemerintah Hindia Belanda membuka Landbouwschool, sekolah pertanian di Beureunuen. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah itu.

Setelah tamat Landbouwschool pada tahun 1916, ia diangkat menjadi asisten di sekolah pertanian tersebut dan diperbantukan pada Leider Landbouwschool (Landbouwkundige Ambtenar B. Dj. Rasad). Di sana ia belajar bahasa Belanda pada Alb Kroes Bandung melalui korepodensi.

Di sela-sela kesibukannya di sekolah itu, ia juga menjadi wartawab (koresponden) Dagblag terbitan Medan. Tulisan pertamanya di koran tersebut mengupas tentang verslag lengkap dari konggres Vereeniging Atjeh yang diadakan pada 16 Januari 1916. Pada waktu itu ia juga menjadi penulis pada majalah politik Sama Rata yang juga terbit di Medan. Penerbitan majalah itu dipimpin oleh Mangun Atmodjo.

Pada tahun 1918 ia menjadi Beherder Centrale Proeftuin dari Landbouwvoorlichtingsdienst di Uleekareng, dan merangkap sebagai assistent leider Sekolah Pertanian Uleekareng. Ia juga menjadi anggota Nederlandssche Verbond di Kutaraja. Pada masa itu ia H M Zainuddin masuk ke kancah politik dengan bergabung menajdi anggota Insulinde cabang Kutaraja dengan jabatan sebagai Secretaris Vereeningin.

Meski sudah masuk dalam kancah politik, ia tetap melanjutkan profesinya sebagai wartawan dengan menjadi spesial korespoden untuk koran Neratja pimpinan H A Salim, setelah koran Neratja/Hindia Baru tidak terbit. Pada masa yang sama ia juga menjadi spesial korespoden Bintang Timur pimpinan Parada Harahap. Di Bitang Timur inilah ia mengunakan nama De Jong Atjeher dalam setiap tulisannya.

Pada tahun 1921 sampai 1926 menjadi Beheerder pada Proef en Demonstatietuinen Peureulak Langsa dan Idi yang berkedudukan di Peureulak untuk memperluas sawah dalam afdeeling Aceh Timur. Bekas-bekas kebun lada dalam Landschap Peureulak dirubah menjadi areal persawahan. Meski sibuk mengurus pertanian di Peureulak, H M Zainuddin tetab menjalani profesi sebagai wartawan di Warta Timur terbitan Medan.

Pindahnya H M Zainuddin ke Peureulak pada tahun 1921 itu atas permintaan Uleebalang (Zelfbestuur) Peureulak Tgk Chik Muhammad Thaib kepada Gubernur Aceh agar dikirim ahli pertanian ke sana. Perluasan sawah itu dengan penanaman bibit unggul setelahnya mampu membuat daerah Aceh Timur swasembada beras, sehingga tak lagi harus mendatangkan beras dari Aceh Utara dan Pidie.

Kebun Tgk Chik Muhammad Thaib di Tualang seluas tiga hektar dijadikan sebagai lahan penelitian dan pengembangan oleh H M Zainuddin. Di kebun itu ia mengajarkan kepada warga cara pengcangkokan tanaman. Berbagai jenis tanahan buah yang dicangkokkan itu kemudian dipamerkan pada acara hiburan pasar malam di Langsa dan dijual seharga Rp1 perbatang. Tak lama kemudian selain berhasil memperluas sawah, H M zainuddin juga berhasil mengembangkan perkebunan rakyat, dengan berbagai bibit unggul yang dicangkokkannya.

Karena dinilai sukses dalam pengembangan pertanian dan perkebunan di Aceh Timur, maka H M Zainuddin kemudian diminta oleh Beheerlamdbouwconsulen Medam, Profesor J H Heijl untuk melakukan hal yang sama di Tuinbouwkundige Abtenar J Bange di Kaban Jahe, Sumatera Timur.

Dalam tahun 1925 mendapat cuti selama empat bulan untuk mengurus kesehatannya ke Sanatorium Semplak (Bogor). Dari sana ia memperdalam ilmu pertaniannya tentang percangkokan dan perkawinan silang tumbunan di Sukabumi dan Pasar Minggu. Di sana ia juga sebagai spesial koresponden persbiro Al Pena dan harian Bintang Timur pimpinan P Harahap.

Penulis Novel dan Sejarah
Pada tahun 1926 H M Zainuddin meminta berhenti dari jawatan pertaninan (Opeigen verzoek eervol Ontslagen) dan membuka perusahaan dagang sendiri Atjehsche Producten Handel dan Annemery di Peureulak. Di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan tersebut H M Zainuddin menulis roman Djeumpa Atjeh yang kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka di Betawi (Jakarta).

Sejak itu ia mulai mengumpulkan bahan-badan dan melakukan penelitian untuk penulisan buku Tarick Aceh yang melambungkan namanya dari bisnismen dan ahli pertanian menjadi sejarawan yang dikenal hingga sekarang. Meski demikian aktivitasnya menulis di media tidak ditinggalkan. Setelah mundur dari jawatan pertanian ia masih terus menulis dan menjadi Reizende Redactuur harian Tjinpo terbitan Medan. Di media itu setiap satu ia menulia tajuk rencana (editorial) tentang politik dan ekonomi yang terjadi di Aceh.

Pada tahun 1931 H M Zainuddin menjadi sekretaris School Vereeniging Pusaka yang dibangun bersama T Muhamamd Thajeb dan T Muhammad Nurdin di Peureulak. Ia menjabat disekolah tersebut sampai tahun 1938. Semasa menjadi sekretasi di sekolah itu ia juga mulai menulis novel Dharma (toneelstuk), dan Bunga Berduri yang mengisahkan tentang seorang pemuda yang menjadi korban asmara karena melepaskan seorang gadis dari penyiksaan ibu tirinya. Kemudian ia juga menulis novel Lila Atjeh yang mengisahkan perjalanan Sulthan Iskandar Muda menyerang Malaka.

Semua hasil dari penulisan novel itu digunakan untuk membantu biaya sekolah Pusaka (School Vereeniging Pusaka) Peureulak dan Onze Shool di Langsa. Cerita-cerita dari novel yang ditulisnya itu kemudian dipentaskan dalam pergelaran sandiwara keliling yang H M Zainuddin sendiri menjadi sutradaranya (toneeldirectuur).

Kemudian sejak 1935 sampai 1941 H M Zainudidn diminta untuk bekerja di perbankan dengan surat pengangkatan Besluit Hoofd der Centrale Commisie der Volkscrediet Bank tanggal 25 Maret 1935 nomor 5. Ia diangkat menjadi Lid Plaatselijke van Toezicht en Bij Stand der A.V. Bank Langsa.

Apapun pekerjaan baru yang dijalani H M Zainuddin, ia tak pernah meningalkan profesinya sebagai wartawan. Karena itu pula sampai tahun 1938 ia menjadi Medemerker majalan politik Penjedar di Medan dan menjadi pengisi rubrik “Atjeh Problem” yang beiri tulisan tentang sosial politik dan kehakiman di Aceh. Di majalah itu ia mengunakan nama Atjeher. Pada waktu yang sama ia juga menjadi koresponden Pewarta Deli dan Pelita Andalas terbitan Medan. Ketika menulis di media-media itu, H M Zainuddin tinggal di Langsa.

Ia kemudian mengembangkan bisnisnya dengan membuka Expeditie Kantoor Atjeh (EKA) di Medan. Di sela-sela kesibukannya itu, ia menulis buku tentang pertanian “Ilmu Tanah” buku itu kemudian diterbitkan oleh Indiche Drukkery yang kemudian berubah menjadi percetakan Indonesia di Medan.

Dari tahun 1939 sampai 1941 H M Zainuddin juga menjadi Manager Firma Wahab di Medan yang bergerak dalam bidang perdagangan dan distribusi beras asal Aceh ke berbagai daerah di Sumetera Timur.

Kemudian pada masa awal penjajahan Jepang (1941) ia kembali ke Aceh Timur dan bekerja di kantor Bunsuchu Atjeh Timur sebagai Kepala Tikisan merangkap pengurus distribusi beras untuk kawasan Kota Langsa dan Kuala Simpang. Setahun kemudian (1942) ia dipindahkan ke Kutajara (Banda Aceh) dan diangkat menjadi Zansankutjo pada kantor Kusai Kyoko merangkap kepala bagian ekonomi yang bertugas memperbanyak logistik dan bahan-bahan makanan.

Tak lama memegang jabatan itu, ia diangkat menjadi Boai Butjo dari Koshi Kuku (Badan Pertanahan Daerah) bersama Teuku Nyak Arief dan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali yang ditugaskan untuk mengurus soal-soal Gaygun.

Pembentukan TKR dan Gasida
Pada awal kemerdekaan (1945) Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh dengan pangkat Brigadeir Jendral membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam laskar TKR, H M Zainuddin mengumpulkan bekas-bekar tentara Gyugun dan Heiho bentukan Jepang untuk masuk menjadi TKR.

Usaha mengumpulkan bekas-bekas tentara bentara Jepang itu dilakukan H M Zainuddin bersama Kolonel Syamaun Gaharu, T A Hamid, Said Usman, Said Ali, T Ahmad Syah, Muhammad Hussain dan Kamarusid.

Mereka juga ditugaskan untuk membeli persenjataan dengan dana yang diberikan oleh Teuku Nyak Arief dari penjualan emasnya. Setelah berdiri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), H M Zainudidn dipilih menjadi anggota badan eksekutif di DPR sampai Juni 1946. Saat itu ia juga menjabat sebagai Vice Consul Muhammadiyah Aceh (1943 - 1946).

Lalu pada tahun 1946 H M Zainuddin diangkat menjadi Kepala Kantor urusan Bahan Makanan Residen Aceh di Kutaraja sampai ia berhenti di kantor tersebut pada tahun 1947. Ia kemudian menyalurkan dana pribadinya sebesar Rp35.000 untuk modal pendirian Bank Dagang Nasional di Kutaraja, karena uang peninggalan Jepang sudah habis digunakan oleh Residen Aceh untuk pembelian senjata bagi Tentara Keamanan Rakyat.

H M Zainuddin kemudian berhenti sebagai pegawai pemerintah dan membuka kerja sama bisnis (perkongsian) dengan Firma Pribumi dan menjadi anggota Gabungan Saudagar Gasida di Kutaraja. Di lembaga ini ia dipilih menjadi Ketua Majelis Komisaris Pengurus Besar Gasida. Jabatan itu dipegangnya dari tahun 1948 sampai 1957.

Menerima Kunjungan Soekarno
Pada tahun 1948 untuk pertama kalinya Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. sebagai Komisaris Gasida, H M Zainuddin bersama para saudagar Aceh melakukan jamuan khusus terhadap presiden pertama Indonesia itu di Atheh Hotel.

Dalam jamuan itu, Soekarno meminta kepada saudagar-saudagar Aceh untuk membeli dua pesawat terbang demi kelancaran tugas preside ke luar negeri. Untuk tujuanya itu Soekarno pada saat yang sama juga khusus menjumpai Gubernur Militer Langkat dan Tanah Karo, Tgk Muhammad Daod Beureueh. Malah di hadapan Abu Beureueh itu Soekarno bersumpah dan menangis meminta agar dibelikan dua pesawat terbang.

Abu Beureueh kemudian memerintahkan para saudara Gasida untuk mengumpulkan dana pembelian pesawat tersebut. Hari itu juga Gasida memberikan sumbangan uang tunai US$ 120.000 kepada Soekarno untuk pembelian pesawat terbang.

Sepulangnya Soekarno dari Aceh, saudagar Gasida selama 27 hari terus mengumpulkan dana tambahan untuk pembelian pesawat. Mereka turun ke daerah-daerah. Pulang dari daerah, Gasida kembali menyerahkan cek senilai US$120.000 kepada Resdien Aceh untuk diserahkan ke presiden. Cek itu harus di cairkan pada Firma Permai di Penang, Malaysia.

Selanjutnya pada 1949, H M Zainuddin menjadi Presiden Direktur NV Petraco. Jabatan itu dipegangnya sampai Juli 1957. Ia berhenti dari perusahaan itu untuk lebih fokus pada penulisan buku-buku sejarah Aceh, di antaranya Singa Atjeh yang berisi biografi Sulthan Iskandar Muda, dan buku Tarick Aceh dan Nusantara dalam dua jilid. Jilid pertama berisi tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Aceh, sementara jilid kedua tentang sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di nusantara.

Usai merampung buku tersebut, ia kemudian menulis Sejarah dan Kesusastraan Indonesia, Ilmu Tanah, Muharram, dan beberapa hikayat Aceh, serta kumpulan pantun dan pribahasa Aceh. buku-buku itu ditulisnya di Medan, di sana ia diminta untuk membantu secara berkala di jawatan sejarah militer dan Majalah Iskandar Muda yang diterbitkan di Medan dan Kutaraja. Ia juga mejadi penasehat Himpunan Peminat Sastra Islam Sumatera Utara dan penasehat Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) cabang Medan.[
Iskandar Norman]


Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh dengan judul De Jong Atjeher. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/08/de-jong-atjeher.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012