Total Tayangan Halaman

Hak Cipta AcehSky (2012). Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Diplomasi Aceh Tempo Dulu


Untuk menjalin hubungan dangan kerajaan Belanda, Raja Aceh, Sultan Alauddin Al Mukamil mengutus Abdul Hamid ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Aceh sejak zaman dahulu memiliki para diplomat ulung yang menjalin hubungan dengan luar negeri. Kisah ambasador Abdul Hamid salah satunya. Menurut Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.
 
Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap menjaga hubungan dengan Portugis.

Persaingan dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.

Malah,  pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat Malaka.

Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.

Selanjutnya, menurut Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599--saat itu Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.

Orang pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh.

Menyadari adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.

Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.
  
J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh”  menjelaskan, pada November 1600 Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie  untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh.

Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.

Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.

Pun demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang antara Aceh dan Portugis jadi putus.

Hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.

Pedagang-pedagang dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.

Utusan Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.

Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.

Rombongan ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr. J. J. F. Wap  dalam buku “Het gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.

Traktrat London
Pada 2 November 1872, lima bulan sebelum perang dipermaklumkan, Belanda telah memperolah kekuasaan dari Inggris untuk berkuasa di Sumatera. Aceh pun menggeliat, karena menilai Ingris telah mengingkari perjanjian dengan Aceh pada tahun 1819 melalui Traktat London.

Dalam Traktat London tersebut, Inggris menyatakan menghormati kemerdekaan Aceh dan melindungi pelayaran di Selat Malaka. Karena itu pula Aceh berlindung dibalik perjanjian tersebut. Tapi setelah 2 November 1872, Inggris memberi kekuasaan kepada Belanda untuk berkuasa di Sumatera dengan tidak akan ikut campur dengan urusan Sumatera, maka Traktat London itu seakan tak lagi punya arti.

Belanda yang ingin menancapkan kekuasannya di Sumatera pun mulai tidak menghormati kedaulatan Aceh. Mereka sering menggangu kapal-kapal niaga yang akan berlabuh dari dan ke Aceh. Alasannya, memberantas pembajakan dan lalu lintas perdagangan budak.

Padahal Belanda ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka.Untuk tujuan itu, Aceh harus di rebut. Berbagai surat pun dikirim ke Sultan Aceh, tapi selalau dijawab dengan tegas, menolak campur tangan Belanda dalam perdagangan di Aceh.

Karena itu pula, orang-orang Aceh sering merampas kapal Inggris, Belanda, Italia dan Amerika yang melewati Selat Malaka. Alasannya, kapal-kapal tersebut membawa rempah-rempah yang dibeli secara illegal di berbagai pelabuhan di pantai Aceh bagian barat dan utara, serta membawa barang seludupan.

Sikap Aceh terhadap Belanda semakin lama semakin bermusuhan. Khawatir akan terjadi perang besar dengan belanda. Pada tahun 1868 Aceh melakukan perundingan rahasia dengan Turki. Tapi Turki waktu itu sangat terikat dengan Inggris, yang membutuhkan bantuan untuk melawan Rusia.

Diplomasi dengan Amerika
Tahun 1872 menjaleng penyerangan Belanda ke Aceh. Utusan Aceh mengadakan perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal Amerika dan Italia di Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika di Singapura, Mayor A.G Studer memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan Aceh dengan Belanda.

Ia mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk itu Studer mengirim kawat kepada Panglima skadron angkatan laut Amerika yang sedang melakukan patroli di Laut Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut terus melaju ke Singapura untuk membantu Aceh.

Sambil menunggu angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang konsep perjanjian persahabatan antara Aceh dengan Amerika. Tapi usaha Studer itu gagal, karena Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk memberikan perhatian khusus pada persoalan Aceh dengan Belanda.

Bahkan dalam suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda, Hamilton menyebut Stuger sebagai konsul yang tolol. “Orang itu (Stuger-red) benar-benar tolol,” tulis Hamilton dalam suratnya. Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan Amerika pun gagal. Padahal Stuger dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah membuat konsep perjanjian  dalam bahasa Inggris dan Melayu.

Ternyata dalam pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di Singapura waktu itu, juga hadir seorang mata-mata Belanda yang kemudian membocorkan rencana kerja sama Aceh dengan Amerika tersebut. Belanda pun memaikan peran baru, memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama dengan negara lainnya untuk menghadapi Belanda.

Sejarah Aceh pun terus bergerak dari satu perang ke perang lainya. Belanda mencatat sebagai perang terlama dan paling banyak menguras kas negara, plus darah dan nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh dengan Amerika ditandatangani, mungkin simpul sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain.[Iskandar Norman]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Aceh dengan judul Diplomasi Aceh Tempo Dulu. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://acehsky.blogspot.com/2012/08/diplomasi-aceh-tempo-dulu.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Rabu, 01 Agustus 2012